Sebagai
mahasiswa, kata kaderisasi merupakan kata yang sering terdengar—walau terkadang
hal tersebut jauh terdeportasi dalam artian yang sempit dan primordial sektor.
Kamus-kamus tentang kaderisasi, entah pendidikan karakter, sejarah, bahkan
pengembangan pola pikir bukan hanya ditujukan sebagai instrument penguat
keberadaan dari suatu institusi atau lembaga tertentu yang menyelenggarakan
kaderisasi itu sendiri. Perlu dipahami bahwa, sejak awal kita memilih kata
kaderisasi sebagai alat untuk mempersiapkan calon-calon mahasiswa yang akan
menjadi estafet perjuangan—entah itu perjuangan yang dilakukan dalam lingkungan
“sempit” (baca:lingkungan tempat diperoleh kaderisasi itu sendiri), ataupun
pada ruang lingkup institusi masyarakat dan lembaga tempat kita bernaung pada
saat itu, kita sudah saatnya berpikir bahwa kaderisasi merupakan bagian dari
perjuangan untuk keutuhan bangsa Indonesia, tidak lagi bersifat koloni dan
picik untuk pembelaan golongan tertentu.
Saat ini
kita selalu diutamakan untuk memahami permasalahan-permasalahan yang berbau
golongan tertentu, sementara masalah di luar itu, pada skala yang lebih besar,
selalu dikekang dengan jargon-jargon apatis dan penuh jiwa arogansi kelompok
tersebut. Idealnya, suatu permasalahan baik secara sadar ataupun tidak, selalu
akan bertambah dan berkembang setiap waktunya—dan hal utama yang harus kita
prioritaskan adalah melakukan penyelesaiaan masalah pada ruang lingkup yang
paling dekat dengan keseharian kita. Tidak ada jaminan suatu masalah yang kita
temui saat ini bisa kita kalahkan dengan satu atau bahkan dua strategi saja,
selama permasalahan tersebut tidak ada partisipasi secara sadar dari berbagai
unsur—akhirnya kita hanya terperangkap pada lingkup keterbelakangan pengetahuan
akan hal-hal lain yang ada di luar perkiraan kita. Kaderisasi yang didapatkan
oleh mahasiswa akan selalu berkutat pada pemahaman pendidikan arogansi sektor
dan apisteriori oleh kader-kader yang saat ini dipersiapkan.
Ada suatu
kecenderungan ketika hal tersebut kita budayakan sampai dengan saat ini,
kemampuan dan potensi seorang kader untuk mensikapi masalah-masalah sosial yang
lebih luas dan lebih besar akan semakin terkikis oleh perbuatan pengkader itu
sendiri—akhirnya hanya akan tercipta kader mandul yang berpikiran konvensional.
Kaderisasi
Kolektif
Kita saat
ini selalu mendewakan jargon dan simbol-simbol untuk suatu kelompok kecil
tempat kita mendapatkan kaderisasi. Bukan masalah hal itu benar atau
tidak—karena hal itu merupakan stimulus bagi orang-orang yang menjadi
kader. Sebaliknya, saat ini kita sangat jauh dari kaderisasi berskala nasional
dan secara menyeluruh, tidak hanya diberikan tentang hal-hal yang berkaitan
dengan solidaritas dan kekompakan dalam skala kecil, tidak hanya diberikan
materi-materi jargon kelompok dan teriakan-teriakan tendensi golongan atau
bahkan materi-materi tentang kemahasiswaan yang sifatnya hanya berlaku pada saat
seorang kader menjadi mahasiswa. Perlu dipahami secara utuh adalah, bahwa kita
semua—mahasiswa yang ada di Indonesia merupakan kader bangsa ini, bangsa
Indonesia. Penanaman nilai-nilai yang semestinya kita ajukan dan menjadi
rujukan adalah nilai-nilai luhur tentang lahirnya bangsa ini, eksistensi bangsa
ini dan tentang permasalahan yang sedang bangsa ini alami.
Menjadi
mahasiswa adalah kesempatan terakhir kita sebelum menjadi manusia-manusia
penipu masyarakat, pelanjut generasi tua yang telah terdahulu menipu bangsa dan
rakyat Indonesia. ”Kalau kita tidak belajar dari sekarang tentang trik dan cara
untuk menipu—kita sewajarnya akan menjadi penipu bangsa yang lebih besar dari
generasi tua saat ini”. Melakukan hal-hal hanya unuk sekedar tau tentang
permasalahan yang sekarang melingkupi Indonesia, merupakan langkah kecil kita
sebelum bertindak atas nama perjuangan cita-cita bangsa.
Lebih jauh
kita mengenal suatu kaderisasi kolektif, kita harus mengasimilasi sifat-sifat
kaderisasi yang kita dapat dalam lingkungan yang begitu kecil ini
(baca:lingkungan mahasiswa) sebagai suatu pegangan awal untuk menafsirkan
permasalahan yang lebih besar, dan mulai memikirkan solusi-solusi kecil untuk
melanjutkan eksistensi perjuangan bangsa tercinta. Bukankah yang kita dapatkan di
berbagai macam kaderisasi yang kita lakukan sekarang merupakan hal-hal positif
dan hal brilian? Jadi memoles kaderisasi itu sebagai motor penggerak ke jenjang
pemahaman yang bertolak dari kepentingan masyarakat Indonesia yang kembali kita
jargonkan secara masif dan komprehensif.
Lewat
Hegemoni dan Represif
Kita tahu
bahwa, kaderisasi yang mahasiswa laksanakan saat ini, merupakan rangsangan
untuk mencapai suatu keinginan agar berjalan dengan cepat dan tentunya bisa
menjadi efisien, entah itu dalam kerangka tindakan represif dalam wujud yang
halus, maupun secara terang-terangan yang menekan fisik. Hal inilah yang
terkadang membuat cara-cara kaderisasi memperalat cara-cara penekanan terhadap
kader-kader yang dipersiapkan—tidak perlu kita pertanyakan lagi, kenapa hal ini
harus dilakukan, ini berkaitan dengan perjalanan pendidikan dan kaderisasi
secara sadar yang dilakukan di dalam ruang lingkup mahasiswa, terhitung
sangat sebentar.
Untuk hal
ini, sebaiknya kita mengetahui peran dari pemegang hegemoni dan manfaat dari
tindakan represif. Selama ini mungkin, dua terminologi di atas di afiliasikan
dengan makna-makna yang negatif. Pada dasarnya kedua makna tersebut merupakan
implementasi dari satu tujuan, yaitu tentang kekuasaan. Ini dapat menjadi
potensi positif untuk suatu kerangka kaderisasi—apalagi dihadapkan pada sistem
pendidikan yang semakin hari semakin mematikan perjuangan eksternal mahasiswa.
Secara sadar, tentunya yang memiliki kekuatan untuk menjalankan hegemoni dan
represif adalah orang-orang yang menjadi pucuk pimpinan dari suatu organisasi
yang bersangkutan. Otomatis, setiap pemegang pimpinan organisasi yang ada dalam
ruang lingkup mahasiswa harus terlebih dahulu memiliki pola pikir progresif
untuk menafsirkan kaderisasi sebagai proyeksi perjuangan bangsa Indonesia,
bukan lagi untuk kematangan suatu lembaga saja, yang terdampar pada nilai-nilai
sektarian.
Perubahan
pola pikir yang diawali oleh pucuk pimpinan akan membawa efek besar pada apa
yang akan dilakukan nantinya—ketika mulai membuat rencana strategis untuk
kaderisasi, sampai dengan pelaksanaan kaderisasi itu sendiri. Pemaknaan akan
suatu hegemoni dan tindakan represif tidak hanya jadi bermakna kekuasaan ketika
yang dipersiapkan adalah orang-orang yang bisa peka tidak hanya dalam ruang
lingkup kecil—akan tetapi akan memiliki arti sebagai instrumen penggerak
perjuangan secara nasional. Hegemoni harus dipandang sebagai suatu bentuk
kekuasaan yang tidak mengekang dan kaku atas semua keinginan yang tertuang
dalam tingkah laku seorang pemimpin, semua harus dilakukan dengan siasat untuk
menjadikan hegemoni sebagai stimulus untuk melahirkan kader yang berkesadaran
lebih kompleks. Begitupun tindakan represif yang sering di perlihatkan dalam
bentuk penekanan fisik dan lelucon-lelucon yang dianggap wajar—itu semua harus
kita penggal, kemudian memasukkan bentuk represif yang lebih logis dan
konsekuen, sehingga pemahaman kader terhadap proses kaderisasi tidak hanya
dipahami sebagai tindakan monoton yang menjadi ritual setiap tahun.
0 komentar:
Posting Komentar