Selasa, 09 April 2013

Apakah Kaderisasi Kita (Mahasiswa) Sudah Representasi Kaderisasi Bangsa Kita (Indonesia)


Sebagai mahasiswa, kata kaderisasi merupakan kata yang sering terdengar—walau terkadang hal tersebut jauh terdeportasi dalam artian yang sempit dan primordial sektor. Kamus-kamus tentang kaderisasi, entah pendidikan karakter, sejarah, bahkan pengembangan pola pikir bukan hanya ditujukan sebagai instrument penguat keberadaan dari suatu institusi atau lembaga tertentu yang menyelenggarakan kaderisasi itu sendiri. Perlu dipahami bahwa, sejak awal kita memilih kata kaderisasi sebagai alat untuk mempersiapkan calon-calon mahasiswa yang akan menjadi estafet perjuangan—entah itu perjuangan yang dilakukan dalam lingkungan “sempit” (baca:lingkungan tempat diperoleh kaderisasi itu sendiri), ataupun pada ruang lingkup institusi masyarakat dan lembaga tempat kita bernaung pada saat itu, kita sudah saatnya berpikir bahwa kaderisasi merupakan bagian dari perjuangan untuk keutuhan bangsa Indonesia, tidak lagi bersifat koloni dan picik untuk pembelaan golongan tertentu.
Saat ini kita selalu diutamakan untuk memahami permasalahan-permasalahan yang berbau golongan tertentu, sementara masalah di luar itu, pada skala yang lebih besar, selalu dikekang dengan jargon-jargon apatis dan penuh jiwa arogansi kelompok tersebut. Idealnya, suatu permasalahan baik secara sadar ataupun tidak, selalu akan bertambah dan berkembang setiap waktunya—dan hal utama yang harus kita prioritaskan adalah melakukan penyelesaiaan masalah pada ruang lingkup yang paling dekat dengan keseharian kita. Tidak ada jaminan suatu masalah yang kita temui saat ini bisa kita kalahkan dengan satu atau bahkan dua strategi saja, selama permasalahan tersebut tidak ada partisipasi secara sadar dari berbagai unsur—akhirnya kita hanya terperangkap pada lingkup keterbelakangan pengetahuan akan hal-hal lain yang ada di luar perkiraan kita. Kaderisasi yang didapatkan oleh mahasiswa akan selalu berkutat pada pemahaman pendidikan arogansi sektor dan apisteriori oleh kader-kader yang saat ini dipersiapkan.
Ada suatu kecenderungan ketika hal tersebut kita budayakan sampai dengan saat ini, kemampuan dan potensi seorang kader untuk mensikapi masalah-masalah sosial yang lebih luas dan lebih besar akan semakin terkikis oleh perbuatan pengkader itu sendiri—akhirnya hanya akan tercipta kader mandul yang berpikiran konvensional.
Kaderisasi Kolektif
Kita saat ini selalu mendewakan jargon dan simbol-simbol untuk suatu kelompok kecil tempat kita mendapatkan kaderisasi. Bukan masalah hal itu benar atau tidak—karena hal itu merupakan stimulus bagi orang-orang yang menjadi kader. Sebaliknya, saat ini kita sangat jauh dari kaderisasi berskala nasional dan secara menyeluruh, tidak hanya diberikan tentang hal-hal yang berkaitan dengan solidaritas dan kekompakan dalam skala kecil, tidak hanya diberikan materi-materi jargon kelompok dan teriakan-teriakan tendensi golongan atau bahkan materi-materi tentang kemahasiswaan yang sifatnya hanya berlaku pada saat seorang kader menjadi mahasiswa. Perlu dipahami secara utuh adalah, bahwa kita semua—mahasiswa yang ada di Indonesia merupakan kader bangsa ini, bangsa Indonesia. Penanaman nilai-nilai yang semestinya kita ajukan dan menjadi rujukan adalah nilai-nilai luhur tentang lahirnya bangsa ini, eksistensi bangsa ini dan tentang permasalahan yang sedang bangsa ini alami.
Menjadi mahasiswa adalah kesempatan terakhir kita sebelum menjadi manusia-manusia penipu masyarakat, pelanjut generasi tua yang telah terdahulu menipu bangsa dan rakyat Indonesia. ”Kalau kita tidak belajar dari sekarang tentang trik dan cara untuk menipu—kita sewajarnya akan menjadi penipu bangsa yang lebih besar dari generasi tua saat ini”. Melakukan hal-hal hanya unuk sekedar tau tentang permasalahan yang sekarang melingkupi Indonesia, merupakan langkah kecil kita sebelum bertindak atas nama perjuangan cita-cita bangsa.
Lebih jauh kita mengenal suatu kaderisasi kolektif, kita harus mengasimilasi sifat-sifat kaderisasi yang kita dapat dalam lingkungan yang begitu kecil ini (baca:lingkungan mahasiswa) sebagai suatu pegangan awal untuk menafsirkan permasalahan yang lebih besar, dan mulai memikirkan solusi-solusi kecil untuk melanjutkan eksistensi perjuangan bangsa tercinta. Bukankah yang kita dapatkan di berbagai macam kaderisasi yang kita lakukan sekarang merupakan hal-hal positif dan hal brilian? Jadi memoles kaderisasi itu sebagai motor penggerak ke jenjang pemahaman yang bertolak dari kepentingan masyarakat Indonesia yang kembali kita jargonkan secara masif dan komprehensif.
Lewat Hegemoni dan Represif
Kita tahu bahwa, kaderisasi yang mahasiswa laksanakan saat ini, merupakan rangsangan untuk mencapai suatu keinginan agar berjalan dengan cepat dan tentunya bisa menjadi efisien, entah itu dalam kerangka tindakan represif dalam wujud yang halus, maupun secara terang-terangan yang menekan fisik. Hal inilah yang terkadang membuat cara-cara kaderisasi memperalat cara-cara penekanan terhadap kader-kader yang dipersiapkan—tidak perlu kita pertanyakan lagi, kenapa hal ini harus dilakukan, ini berkaitan dengan perjalanan pendidikan dan kaderisasi secara sadar yang dilakukan di dalam ruang lingkup mahasiswa, terhitung sangat sebentar.
Untuk hal ini, sebaiknya kita mengetahui peran dari pemegang hegemoni dan manfaat dari tindakan represif. Selama ini mungkin, dua terminologi di atas di afiliasikan dengan makna-makna yang negatif. Pada dasarnya kedua makna tersebut merupakan implementasi dari satu tujuan, yaitu tentang kekuasaan. Ini dapat menjadi potensi positif untuk suatu kerangka kaderisasi—apalagi dihadapkan pada sistem pendidikan yang semakin hari semakin mematikan perjuangan eksternal mahasiswa. Secara sadar, tentunya yang memiliki kekuatan untuk menjalankan hegemoni dan represif adalah orang-orang yang menjadi pucuk pimpinan dari suatu organisasi yang bersangkutan. Otomatis, setiap pemegang pimpinan organisasi yang ada dalam ruang lingkup mahasiswa harus terlebih dahulu memiliki pola pikir progresif untuk menafsirkan kaderisasi sebagai proyeksi perjuangan bangsa Indonesia, bukan lagi untuk kematangan suatu lembaga saja, yang terdampar pada nilai-nilai sektarian.
Perubahan pola pikir yang diawali oleh pucuk pimpinan akan membawa efek besar pada apa yang akan dilakukan nantinya—ketika mulai membuat rencana strategis untuk kaderisasi, sampai dengan pelaksanaan kaderisasi itu sendiri. Pemaknaan akan suatu hegemoni dan tindakan represif tidak hanya jadi bermakna kekuasaan ketika yang dipersiapkan adalah orang-orang yang bisa peka tidak hanya dalam ruang lingkup kecil—akan tetapi akan memiliki arti sebagai instrumen penggerak perjuangan secara nasional. Hegemoni harus dipandang sebagai suatu bentuk kekuasaan yang tidak mengekang dan kaku atas semua keinginan yang tertuang dalam tingkah laku seorang pemimpin, semua harus dilakukan dengan siasat untuk menjadikan hegemoni sebagai stimulus untuk melahirkan kader yang berkesadaran lebih kompleks. Begitupun tindakan represif yang sering di perlihatkan dalam bentuk penekanan fisik dan lelucon-lelucon yang dianggap wajar—itu semua harus kita penggal, kemudian memasukkan bentuk represif yang lebih logis dan konsekuen, sehingga pemahaman kader terhadap proses kaderisasi tidak hanya dipahami sebagai tindakan monoton yang menjadi ritual setiap tahun.

0 komentar:

Posting Komentar