RESUME BUKU ISLAMKU ISLAM ANDA ISLAM
KITA
Nampaknya sosok
Abdurahman Wahid (Gus Dur) memang tidak bisa dilepaskan dari soal peace and
struggle justice. Usaha untuk perdamaian dan memperjuangkan keadilan seakan
menjadi ruh Gus Dur kapanpun, dimanapun, tak terkecuali hampir dalam semua
tulisanya. Seperti dalam buku "Islamku Islam anda Islam Kita", hampir
disetiap lembar buku (tema) selalu menyuguhkan perjuangan akan keadilan.
Gus Dur adalah seorang
intelektual muslim yang mendunia, namun berasal dari kultur tradisi yang kuat.
Pandangannya tentang berbagai pesoalan, selalu dinilai dengan universalisme
Islam. Gus Dur memaknai hal tersebut dengan perspektif penolakannya terhadap
formalisasi agama, ideologisasi, atau syari‘atisasi Islam. Penolakan demikian
karena term tesebut, justru akan mengabaikan pluralitas masyarakat yang
berakhir pada menguatnya tindakan diskriminasi dan penindasan dalam kelas-kelas
sosial. Ini terlihat dalam teks “Islam: Ideologis ataukah Kultural?” (h.42-62).
Gus Dur juga menolak wacana
negara Islam atau menjadikan Islam sebagai dasar negara. Sikap ini dilandasi
dengan pandangan bahwa Islam sebagai jalan hidup tidak memiliki konsep jelas
tentang negara. Pandangan Gus Dur dipertegas dalam artikelnya di buku ini
“Negara Islam, Adakah Konsepnya?” (h.81). Pertama, Islam tidak memiliki
pandangan jelas tentang pergantian pemimpin, karena masing-masing dari Khulafaur
Rasyidin memiliki karakteristik berbeda. Abu Bakar dipilih melalui sumpah
setia (baiat) dari perwakilan suku. Sebelum beliau meninggal, menyatakan
untuk mengangkat Umar Bin Khattab. Intinya Umar menjabat karena penunjukan pengganti
seperti presiden menunjuk wakilnya sebagai pengganti. Setelah Umar memimpin
sekian lama dan berakhir usianya, beliau mengamanatkan untuk membentuk dewan
perwakilan yang terdiri dari sahabat-sahabat mulia. Akhirnya, Utsman Bin Affan
dipilih oleh tujuh orang anggota dewan tersebut. Untuk selanjutnya, pergolakan
muncul di masa pengangkatan Ali sebagai khalifah (h.82). Dan, Alasan kedua yang
dipaparkan Gus Dur untuk menolak konsepsi negara Islam adalah ketidakjelasan
ukuran negara yang diidealisasikan oleh Islam. Apakah model negara mendunia,
atau negara bangsa, atau hanya negara kota.
Menurut M. Syafii Anwar dalam
pengantarnya berpendapat bahwa dari pandangan di atas, Gus Dur setidaknya
mengikuti tipologi berfikir substantif-inklusif dalam menguraikan
gagasan-gagasan politik Islam. Pemikiran ini ditandai dengan keyakinan bahwa
al-Quran adalah kitab yang benar tentang aspek moral untuk kehidupan, bukan
detail pembahasan obyek permasalahan kehidupan. Artinya, Islam memuat ajaran
moral untuk menegakkan keadilan, kebebasan, kesetaraan, demokrasi, tetapi tidak
memberikan panduan moral intuk mendirikan negara. Kedua, pemikirannya selalu
berpijak pada persepsi bahwa Nabi Muhammad diutus bukan untuk membentuk negara,
melainkan mengajarkan nilai-nilai universal, yaitu pada prinsip keadilan,
perdamaian, dan persatuan sesama manusia.
Pemikiran tersebut akan
berhadapan dengan corak pemikiran legal-eksklusif yang berpandangan bahwa Islam
bukan sekedar agama, tetapi juga sebuah sistem hukum yang lengkap, yang
mengklasifikasikan konsep Islam dengan 3D; din, daulah, dunya
(agama, negara, dunia). Implikasinya, muncul paradigma untuk memformulasikan
Islam dari tingkat negara sampai pada individu dalam bentuk konstitusi, semacam
Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi. Akhirnya, langkah ini akan disusul
dengan memperkuat identitas dan ideologinya dengan model ritual simbolik,
bahkan cenderung pada model pemaksaan. Pada aspek kekerasan inilah Gus Dur
tanpa memandang korban manapun, akan berada di garis terdepan memberikan
pembelaan kendati terbaring sakit.
Buku yang disunting oleh Suaedy,
Rumadi, Gamal Ferdhi, dan Agus Maftuh Abegebriel dari berbagai artikel Gus Dur
di media massa ini, setidaknya menjadi cermin pengembaraan intelektual Gus Dur
dari masa ke masa. Hal demikian juga diakui pengantar buku, Syafii Anwar
(h.viii). “Islamku” yang dijadikan tajuk awal dari buku ini merupakan
penggambaran tersendiri tentang pengalaman spiritual yang dialami Gus Dur
selama ini. Dari pola radikal ikhwanul muslimin yang diikutinya sampai
di Jombang Jawa Timur, tertarik nasionalisme Arab di Mesir dan Irak, sampai
berlabuh pada ekletisrme yang bersifat kosmopolitan.
Namun pengalaman yang didapatkan
oleh seorang Gus Dur tidak ingin dipaksakan untuk ditiru orang lain, karena
beliau mengakui bahwa masing-masing individu memiliki pengalaman dan refleksi
tersendiri, dan harus dihargai. Untuk itulah muncul istilah “Islam Anda”. Dan,
perpaduan “Islamku, Islam Anda” yang memiliki cara pandang berbeda sekaligus
standar kebenaran yang berbeda, menjadikan Gus Dur ingin merumuskan “Islam
Kita”, yaitu Islam yang tidak saling memaksakan penafsiran kebenarannya kepada
orang lain atau komunitas selainnya.
Buku ini terdiri dari tujuh
bagian. Bagian pertama menjelaskan tentang Islam dalam diskursus ideologi,
kutural, dan gerakan. Sejumlah gagasan yang menolak konsepsi negara islam,
formalisasi syariat dalam konstitusi negara, sampai pada pertemuan agama
sebagai ideologi, dituangkan Gus Dur dalam bab ini, yang terangkai dari delapan
belas artikel seri dan terpisah.
Pada bagian kedua, terangkum
dalam topik Islam, negara, dan kepemimpinan umat. Bahasa dominan dalam bab ini
lebih menitik beratkan pada dimensi moral dogma normatif Islam dalam sistem
kehidupan manusia. Satu titik sentral adalah penekanan pada aspek keadilan. Apa
yang dikemukakan di bagian tesebut, semakin diperjelas dalam bagian
selanjutnya, yaitu tentang Islam, keadilan, dan hak asasi manusia.
Sejumlah gagasan tetang relasi
Islam dan ekonomi kerakyatan termasuk aspek pendidikan dan masalah-masalah
sosial budaya, dibahas dalam bagian yag beruntun pada bagian empat dan lima.
Dari sini pula, Gus Dur memberikan komentar tentang terorisma yang berlangsung
di Indonesia. Gus Dur memberikan kritik terhadap terorisme berkenaan dengan
pendangkalan terhadap dogma normatif agama Islam, terutama berkaitan dengan
dalil “besikap keras terhadap orang kafir bersikap lembut terhadap sesama
muslim“(Q.S, al-Fath :29) sebagai tanda muslim yang baik. Padahal,
kekerasan individual apapun dilarang Tuhan, selain ketika muslim diusir dari
wilayahnya.(h.300). ini sesungguhnya prinsip keislaman Gus Dur, menolak semua
jenis kekerasaan itu tanpa pandang asal apapun.
Dengan pola pemikiran tersebut, bagian akhir buku
ini menyodorkan gagasan Gus Dur tentang Islam dan masalah global dunia yang
mengakhiri refleksi intelektualitas pemikiran Gus Dur yang mendunia, meski
berasal dari kaum bersarung, yakni tradisional NU. Dan ini menjadi point
bagaimana membangun model keberagamaan yang toleran dalam perbedaan.
0 komentar:
Posting Komentar