Jumat, 12 April 2013

Membedah Realita dalam Bingkai (Sebuah pengantar singkat)


Berawal dari bahasa (linguistic discourse)
            Kajian analisa apa pun pada dasarnya adalah bagian dari seni membaca. ‘Seni membaca’ mulai menggejala (kembali) terutama pada akhir abad 19, dimana kajian (diskursus) mengenai bahasa menjadi sebuah trend bagi para intelektual eropa. Kecenderungan ini adalah akibat dari seorang tokoh linguist yang dipandang subversive pada waktu itu. Ia lah Ferdinand de Saussure, yang kemudian dianggap sebagai bapak linguistik modern. Anggapan tersebut didasarkan pada tulisan singkatnya untuk kelas kuliahnya; course in general linguistics (terjemahan bahasa Inggris).
            Lewat tulisan tersebut lah Saussure menawarkan teori dan anggapan tentang bahasa. Bahasa yang sebelumnya dinyatakan oleh khalayak linguist sebagai sesuatu yang hanya sebuah proses penamaan, mengandung daftar kata-kata, yang masing-masing menerangkan hal-hal yang dinamai[1]. Oleh dia bahasa tidaklah sebuah penamaan yang sangat sederhana, tetapi bahasa adalah sebuah sistem. Paling dasar, bahwa bahasa adalah sebuah sistem nilai adalah karena mengandung dua hal element yang berkaitan dalam fungsi: ideas dan sounds.[2]
            Bahasa pun dianggapnya sebuah sistem tanda (sign), yang tediri dari signifier (penanda) dan signified (yang ditandai), yang lebih lanjut dipandang juga sebagai gagasan-terorganisir yang digabungkan dengan suara. Dari dasar inilah, Saussure mengembangkan menjadi sebuah teori yang koheren dan sistematis. Dengan tulisan pendek itulah, kemudian serial pemikirannya menyebar dan dikembangkan, melalui karya-karya interpretatif para murid dan pengikutnya.[3]

Melampaui pembacaan
            Segala sesuatu bisa diposisikan sebagai teks; objek pembacaan. Dimulai dari hal-hal terkecil dari bahasa (language), hingga yang paling kompleks. Oleh karena semakin luasnya objek kajian linguistik, maka muncullah cabang-cabang ilmu, seperti morphologi dengan objeknya morphem (word-formation), phonologi, semiologi, semiotika, sintaks (sentence-formation), semantik, hingga wacana (discourse).
            Aktifitas membaca dengan objek , problem kebahasaan dan konsep yang sangat sederhana, akhirnya menjadi proses pembacaan yang lebih kompleks; analisa, kritik, atau research. Ke semuanya pada dasarnya adalah cara membaca dengan objek sekaligus metode yang berbeda.
            Analisa mempunyai tingkat kompleksitas yang lebih dibanding ‘membaca’ seperti pada umumnya. Banyak element yang harus diperhatikan, baik internal atau eksternal kebahasaan. Kompleksitas ini lah yang menuntut kajian analisa wacana—dalam bentuk apapun itu—menjadi sebuah kajian interdisipliner. Di ranah ini lah, pada praktiknya kajian analisa wacana tidak lagi hanya menjadi sebuah cabang ilmu linguistik, tetapi juga (cenderung) sebagai kajian teori sosial.
            Karena analisa wacana adalah kajian interdisipliner—selain juga cenderung dan lebih tepatnya menggunakan pendekatan kualitatif—maka, sudah tentu mensyaratkan para pengguna untuk mempunyai kecakapan yang cukup, terutama dalam kajian linguistik, sosial-budaya, politik dan ideologi.

Wacana, ideologi dan relasi kuasa
            Wacana (discourse. Latin: discursus) adalah sebuah unit tertentu dari bahasa yang secara struktur diatas bentuk kalimat (beyond sentence) serta secara khusus terpusat pada fungsi bahasa (language in use). Dalam memahami atau—lebih dari itu—mengidentifikasinya tidak cukup dengan aktivitas pembacaan biasa. Hal ini dikarenakan, lembutnya materi atau objeknya. Kita butuh aktivitas analisa untuk misalnya mengurai sebuah wacana, dengan tentunya didukung dengan penguasaan ragam teori dan kajian (interdisciplinary). Misalnya, dalam menganalisa, kita perlu mengidentifikasi atau mempertimbangkan aspek ideologis, normatifif, atau pun politis.
            Wacana adalah ‘teks’ yang mengandung kompleksitas unsur nilai (kepentingan). Sebagai teks, ia mempunyai fungsi representatif—mewakili hal-hal tersurat dan tersirat. Nilai ideologis sangat inheren dengan keberadaan sebuah wacana, meski dalam praktiknya konsumen wacana cenderung tidak menyadarinya. Ketidak-sadaran inilah yang menjadi wilayah ‘kuasa’ ideologi, yang cukup sulit diidentifikasi, sesulit dan sekompleks mendefinisikan ideologi itu sendiri.
            “Ideologi” telah digunakan secara luas terutama dalam ilmu-ilmu sosial, politik, dan media massa. Istilah ini mulai menyebar setelah “ditemukan’’ oleh seorang filsuf Prancis Destutt de Tracy pada sekitar akhir abad 18.[4] Van Dijk—dengan berpijak pada Tracy—menjelaskan lebih detail apa dan bagaimana ideologi. Memang ideologi disadari adalah sebagai gagasan (notion) yang samar dan kontroversial, tetapi Dijk beruasah menguraikan dan menjelasakan, dengan mengawali anggapan ‘ideologi sebagai sistem kepercayaan’;
As we already see in Destutt de Tracy's writings, ideologies have something to do with systems of ideas, and especially with the social, political or religious ideas shared by a social group or movement. Communism as well as anti-communism, socialism and liberalism, feminism and sexism, racism and antiracism, pacifism and militarism, are examples of widespread ideologies —which may be more or less positive or negative depending on our point of view or group membership. Group members who share such ideologies stand for a number of very general ideas that are at the basis of their more specific beliefs about the world, guide their interpretation of events, and monitor their social practices.[5]

            hingga sampai pada statement (definisi) general bahwa; Ideologies are the fundamental beliefs of a group and its members. Dari definisi ini pula konsep ideologi dikembangkan dengan menempatkan ideologi pada beberapa aspek:
·         'Ideology' as 'false consciousness' or 'misguided beliefs'. (negative meaning)
·         'Ideology' as a general notion
·         'Ideology' as the basis of social practices
Dari gambaran sekilas tentang ideologi diatas, kita sedikit-banyak mempunyai gambaran keterkaitan ideologi dengan wacana. Selain representasi kondisi sosial, peran wacana—misalnya dalam TV, koran, lagu, buku fiksi-non fiksi—yang lebih penting adalah mengekspresikan ideologi, sekaligus bisa memainkannya. Lebih detail Dijk mengkorelasikan secara sederhana seperti di bawah:
One of the crucial social practices influenced by ideologies are language use and discourse, which in turn also influence how we acquire, learn or change ideologies. Much of our discourse, especially when we speak as members of groups, expresses ideologically based opinions. We learn most of our ideological ideas by reading and listening to other group members, beginning with our parents and peers. Later we 'learn' ideologies by watching television, reading text books at school, advertising, the newspaper, novels or participating in everyday conversations with friends and colleagues, among a multitude of other forms of talk and text. Some discourse genres, such as those of catechism, party rallies, indoctrination and political propaganda indeed have the explicit aim of 'teaching' ideologies to group members and newcomers.[6]

In other words, ideologies not only may control what we speak or write about, but also how we do so.[7]
           
Wacana—terutama wacana media—pada praktiknya justru cenderung menjadi alat kuasa (will to power) atau dalam tradisi Gramscian menjadi alat hegemoni. Hubungan wacana dengan ideologi serta berujung pada relasi kuasa, dalam proses selanjutnya merupakan hubungan resiprokal. Wacana—yang dalam kajian strukturalisme menjadi signifier; ‘cermin’ yang merepresentasikan ideologi, relasi kuasa, dan kondisi sosial-budaya lainnya—menjadi kabur; mana signifier dan yang mana signified. Ini lah proses yang oleh Derrida disebut dekonstruksi; dimana sebuah signifier bisa  menjadi signified dari hal lain, dan seterusnya. Begitulah kira-kira gambaran umum hubungan wacana (media), ideologi, dan relasi kuasa.
Ideologi sendiri—menurut Dijk—secara tidak langsung mengontrol praktik-praktik sosial secara umum, dan pada gilirannya mengontrol serta melegitimasi kekuasaan.
........Since ideologies indirectly control social practices in general, and discourse in particular, the obvious further social function of ideologies is that they enable or facilitate joint action, interaction and cooperation of ingroup members, as well as interactions with outgroup members. These would be the social micro-level functions of ideologies.

At the macro-level of description, ideologies are most commonly described in terms of group relations, such as those of power and dominance. Indeed, ideologies were traditionally often defined in terms of the legitimization of dominance, namely by the ruling class, or by various elite groups or organizations.

In other words, ideologies are the beginning and end, the source and the goal, of group practices, and thus geared towards the reproduction of the group and its power (or the challenge towards the power of other groups). Traditionally the term 'dominant ideologies' is used when referring to ideologies employed by dominant groups in the reproduction or legitimization of their dominance.[8]
           
            Disini lah, pemahaman tentang ideologi-ideologi atau relasi kuasa sangat penting dalam analisa wacana. Kita bisa memulai analisa dengan mengurai secara sederhana kategori-kategori bagan ideologi untuk kemudian disesuaikan dengan konteks kasus, kondisi dan kepentingan. Berikut contoh bagan:
Membership criteria             : Who does (not) belong?
Typical activities                   : What do we do?
Overall aims                          : What do we want? Why do we do it?
Norms and values                : What is good or bad for us?
Position                                  : What are the relationships with others?
Resources                               : Who has access to our group resources?[9]

            Perlu diperhatikan pula prinsip seperti berikut:
·         Emphasize positive things about Us.
·         Emphasize negative things about Them.
·         De-emphasize negative things about Us.
·         De-emphasize positive things about Them.[10]

Tahap analisa selanjutnya bisa mengidentifikasi struktur wacana (ideologis) lainnya, seperti: Makna (topics, level of description, implications dan presuppositions, local coherence, synonymy, paraphrase, contrast, examples dan illustrations, disclaimers), propositonal structures (actor, modality,evidentiality, hedging dan vagueness), formal structures, sentence-syntax, discourse forms, argumentation, rethoric, action-interaction,[11] atau hasil akan lebih lengkap jika, analisa kita dipadukan dengan teori atau metode yang berhubungan lebih dekat dengan fokus permasalahan, misal; wacana dominasi dan perjuangan kelas (marxian theory), gender, feminisme dsb.

Mass media: dari legitimasi kuasa hingga sarana kritik sosial
            Media massa apapun bentuknya dalam satu sisi menjadi alat pengontrol kuasa, dan di sisi lain ia juga digunakan sebagai sarana kritik; sehingga ia tak ubahnya seperti sebilah pisau; yang dalam kasus ini posisi awalnya dipandang ‘bebas nilai’. Semua tergantung si pemakai, meski kebanyakan pada kenyataanya media hadir sebagai  sarana konstruktif-hegemonik—“penyambung lidah” penguasa (politik, ekonomi, agama; status quo)[12].
            Tradisi kritik semakin berpeluang sebenarnya untuk mengisi fitur-fitur atau wacana dalam media massa, dengan sarana globalisasi—yang dipandang ‘tanpa batas’. Hal ini didukung pula misalnya dengan tradisi citizen journalism, meskipun ini juga terasa lebih sulit pemanfaatannya dalam kaitannya dengan efek ‘suara’ kritik terhadap khalayak konsumen wacana.
            Untuk merespon atau menganalisa wacana, kita ‘disuguhi’ paling tidak tiga dasar paradigma (paradigm of inquiry) besar:  analisis wacana positivisme (positivist discourse analysis), analisis wacana interpretivisme (interpretivist discourse analysis), dan analisis wacana kritis (critical discourse analysis).
            Paradigma positivisme melihat bahasa sebagai perantara manusia dengan objek (kondisi) di luar dirinya. Jadi, wacana dipandang objektif; bebas dari subjektivitas yang melatar belakangi nya, sehingga si analis tidak perlu ‘curiga’ berlebihan. Perangkat utama analisa ini adalah pemahaman metode sintaksis dan semantik yang lebih memperhatikan aspek internal (bahasa) wacana.
            Interpretivis menolak pengandaian analis positivis bahwa wacana bersifat objektif dan ada jarak dengan subjek (manusia). Dalam tradisi interpretivisme manusia sebagai subjek mempunyai andil besar dalam praktik berwacana. Media pada kenyataannya adalah sarana untuk menyambung kepentingan subjek, sehingga analisa wacana dipahami sebagai upaya menyingkap kepentingan dan nilai-nilai dari subjek.
            Berbeda dengan keduanya, para analis kritis justru lebih jauh dalam memandang praktik berwacana. Para analis kritis memandang adanya proses produksi dan reproduksi makna (juga kepentingan), yang berkaitan erat dengan relasi kuasa (hegemony-domination). Individu atau kelompok—baik sebagai subjek ataupun objek—, dalam konstelasi wacana dipandang tidak terbebas dari kepentingan (ideology, economy) dan relasi kekuasaan.[13]
            Pada giliran selanjutnya semua itu tergantung kita—sebagai analis atau minimal pembaca—memilih metode tertentu dengan berpijak pada suatu paradigma, atau dengan cara yang sama sekali tidak mempunyai metode yang terstruktur; berpijak kuat pada wawasan (interdisciplinary) dan pengalaman serta pengetahuan ‘kebahasaan’ kita sendiri. Hal ini mengingat bahwa manusia adalah makhluk ‘berbahasa’ (komunikatif), dan karena aspek bahasa pulalah—dengan logika sebagai akibat-sekaligus pelengkapnya—pada hakikatnya manusia itu spesial dan dibedakan dengan makhluk Tuhan lainnya. Bahasa adalah satu modal penting (anugerah) Tuhan untuk makhluk yang bernama manusia.
            Tesis “Al Insaan Hayaawan Naathiq” pun—oleh tradisi kaum bayaniyan (language-based logician, seperti Imam Syafi’i dan al-Jahid di dunia Arab-Islam)—diantitesis dengan sintesis “al Insaan Hayaawan Mubiin”[14]. Dan paragraf penutup ini semoga bisa menjadi motivasi bagi kita—yang mungkin masih awam dalam penguasaan teori, metode, dan praktik analisa wacana (media)—untuk melakukan sembari sambil terus belajar tentang tradisi analisa.
            (Selamat ‘bermain’ dengan wacana. Smoga bermanfaat)


[1] Saussure: Course of General Linguistics , p.65 (pdf-eng.version with additional introduction)
[2] Ibid.p.111.
[3] Lebih jelasnya bisa dibaca course of general linguistics.
[4] Teun A. van Dijk, Ideology and discourse; A Multidisciplinary Introduction, p.5 (pdf.version)
[5] Ibid, p.6
[6] Opcit, p.9
[7] Ibid, p28
[8] ibid, p.35
[9] Ibid, 17
[10] Ibid, 44
[11] Lebih jelas bisa membaca Teun A. Van Dijk: Ideology and Discourse dan karya-karya lainnya.
[12] Kecenderungan penguasa di era globlasisasi seperti sekarang ini, dalam melegitimasi & melanggengkan kuasa dengan discursive-hegemonic (spiritual-psychological)  force, dari pada coercive (fisical) force, seperti militarism.
[13] Bisa dibaca di Analisis Wacana Kritis sebagai Ragam Paradigma Kajian Wacana (Sakban Rosidi, artikel 2007. Pdf.version)
[14] Baca lebih lanjut di, misalnya karya Abed Al-Jabiri Bunyatu al-Aqli al-Arabi  dalam proyek Naqdu Aqli Al-Arabi

0 komentar:

Posting Komentar