Berawal dari
bahasa (linguistic discourse)
Kajian
analisa apa pun pada dasarnya adalah bagian dari seni membaca. ‘Seni membaca’
mulai menggejala (kembali) terutama pada akhir abad 19, dimana kajian
(diskursus) mengenai bahasa menjadi sebuah trend bagi para intelektual eropa.
Kecenderungan ini adalah akibat dari seorang tokoh linguist yang dipandang
subversive pada waktu itu. Ia lah Ferdinand de Saussure, yang kemudian dianggap
sebagai bapak linguistik modern. Anggapan tersebut didasarkan pada tulisan
singkatnya untuk kelas kuliahnya; course
in general linguistics (terjemahan bahasa Inggris).
Lewat
tulisan tersebut lah Saussure menawarkan teori dan anggapan tentang bahasa.
Bahasa yang sebelumnya dinyatakan oleh khalayak linguist sebagai sesuatu yang
hanya sebuah proses penamaan, mengandung daftar kata-kata, yang masing-masing
menerangkan hal-hal yang dinamai[1].
Oleh dia bahasa tidaklah sebuah penamaan yang sangat sederhana, tetapi bahasa
adalah sebuah sistem. Paling dasar, bahwa bahasa adalah sebuah sistem nilai
adalah karena mengandung dua hal element yang berkaitan dalam fungsi: ideas dan sounds.[2]
Bahasa
pun dianggapnya sebuah sistem tanda (sign),
yang tediri dari signifier (penanda)
dan signified (yang ditandai), yang
lebih lanjut dipandang juga sebagai gagasan-terorganisir yang digabungkan
dengan suara. Dari dasar inilah, Saussure mengembangkan menjadi sebuah teori
yang koheren dan sistematis. Dengan tulisan pendek itulah, kemudian serial
pemikirannya menyebar dan dikembangkan, melalui karya-karya interpretatif para
murid dan pengikutnya.[3]
Melampaui
pembacaan
Segala
sesuatu bisa diposisikan sebagai teks; objek pembacaan. Dimulai dari hal-hal
terkecil dari bahasa (language), hingga yang paling kompleks. Oleh karena
semakin luasnya objek kajian linguistik, maka muncullah cabang-cabang ilmu,
seperti morphologi dengan objeknya morphem (word-formation),
phonologi, semiologi, semiotika, sintaks (sentence-formation),
semantik, hingga wacana (discourse).
Aktifitas
membaca dengan objek , problem kebahasaan dan konsep yang sangat sederhana,
akhirnya menjadi proses pembacaan yang lebih kompleks; analisa, kritik, atau
research. Ke semuanya pada dasarnya adalah cara membaca dengan objek sekaligus
metode yang berbeda.
Analisa
mempunyai tingkat kompleksitas yang lebih dibanding ‘membaca’ seperti pada
umumnya. Banyak element yang harus diperhatikan, baik internal atau eksternal
kebahasaan. Kompleksitas ini lah yang menuntut kajian analisa wacana—dalam
bentuk apapun itu—menjadi sebuah kajian interdisipliner. Di ranah ini lah, pada
praktiknya kajian analisa wacana tidak lagi hanya menjadi sebuah cabang ilmu
linguistik, tetapi juga (cenderung) sebagai kajian teori sosial.
Karena
analisa wacana adalah kajian interdisipliner—selain juga cenderung dan lebih
tepatnya menggunakan pendekatan kualitatif—maka, sudah tentu mensyaratkan para
pengguna untuk mempunyai kecakapan yang cukup, terutama dalam kajian
linguistik, sosial-budaya, politik dan ideologi.
Wacana, ideologi
dan relasi kuasa
Wacana (discourse. Latin: discursus) adalah sebuah
unit tertentu dari bahasa yang secara struktur diatas bentuk kalimat (beyond sentence) serta secara khusus
terpusat pada fungsi bahasa (language in
use). Dalam memahami atau—lebih dari itu—mengidentifikasinya tidak cukup
dengan aktivitas pembacaan biasa. Hal ini dikarenakan, lembutnya materi atau
objeknya. Kita butuh aktivitas analisa untuk misalnya mengurai sebuah wacana,
dengan tentunya didukung dengan penguasaan ragam teori dan kajian (interdisciplinary). Misalnya, dalam
menganalisa, kita perlu mengidentifikasi atau mempertimbangkan aspek ideologis,
normatifif, atau pun politis.
Wacana
adalah ‘teks’ yang mengandung kompleksitas unsur nilai (kepentingan). Sebagai
teks, ia mempunyai fungsi representatif—mewakili hal-hal tersurat dan tersirat.
Nilai ideologis sangat inheren dengan keberadaan sebuah wacana, meski dalam
praktiknya konsumen wacana cenderung tidak menyadarinya. Ketidak-sadaran inilah
yang menjadi wilayah ‘kuasa’ ideologi, yang cukup sulit diidentifikasi, sesulit
dan sekompleks mendefinisikan ideologi itu sendiri.
“Ideologi”
telah digunakan secara luas terutama dalam ilmu-ilmu sosial, politik, dan media
massa. Istilah ini mulai menyebar setelah “ditemukan’’ oleh seorang filsuf
Prancis Destutt de Tracy pada sekitar akhir abad 18.[4] Van Dijk—dengan
berpijak pada Tracy—menjelaskan lebih detail apa dan bagaimana ideologi. Memang
ideologi disadari adalah sebagai gagasan (notion)
yang samar dan kontroversial, tetapi Dijk beruasah menguraikan dan
menjelasakan, dengan mengawali anggapan ‘ideologi sebagai sistem kepercayaan’;
As
we already see in Destutt de Tracy's writings, ideologies have something to do with systems of ideas, and
especially with the social, political or
religious ideas shared by a social group or movement. Communism as well as anti-communism, socialism and liberalism,
feminism and sexism, racism
and antiracism, pacifism and militarism, are examples of widespread ideologies —which may be more or less
positive or negative depending on
our point of view or group membership. Group members who share such ideologies stand for a
number of very general ideas that are at the
basis of their more specific beliefs about the world, guide their interpretation of events, and monitor their social practices.[5]
hingga
sampai pada statement (definisi) general bahwa; Ideologies are the fundamental beliefs of a group and its
members. Dari definisi ini pula konsep ideologi
dikembangkan dengan menempatkan ideologi pada beberapa aspek:
·
'Ideology' as 'false consciousness' or
'misguided beliefs'. (negative meaning)
·
'Ideology' as a general notion
·
'Ideology' as the basis of social
practices
Dari gambaran sekilas tentang ideologi
diatas, kita sedikit-banyak mempunyai gambaran keterkaitan ideologi dengan
wacana. Selain representasi kondisi sosial, peran wacana—misalnya dalam TV,
koran, lagu, buku fiksi-non fiksi—yang lebih penting adalah mengekspresikan
ideologi, sekaligus bisa memainkannya. Lebih detail Dijk mengkorelasikan secara
sederhana seperti di bawah:
One
of the crucial social practices influenced by ideologies are language use and discourse, which in turn also
influence how we acquire, learn or change
ideologies. Much of our discourse, especially when we speak as members of groups, expresses ideologically
based opinions. We learn most of
our ideological
ideas by reading and listening to other group members, beginning with our parents and peers.
Later we 'learn' ideologies by watching television,
reading text books at school, advertising, the newspaper, novels or participating in everyday
conversations with friends and colleagues, among
a multitude of other forms of talk and text. Some discourse genres, such as those of catechism,
party rallies, indoctrination and political propaganda
indeed have the explicit aim of 'teaching' ideologies to group members and newcomers.[6]
In
other words, ideologies not only may control what we speak or write
about, but also how we do so.[7]
Wacana—terutama wacana media—pada praktiknya justru cenderung menjadi alat
kuasa (will to power) atau dalam
tradisi Gramscian menjadi alat hegemoni. Hubungan wacana dengan ideologi serta
berujung pada relasi kuasa, dalam proses selanjutnya merupakan hubungan
resiprokal. Wacana—yang dalam kajian strukturalisme menjadi signifier; ‘cermin’ yang
merepresentasikan ideologi, relasi kuasa, dan kondisi sosial-budaya
lainnya—menjadi kabur; mana signifier
dan yang mana signified. Ini lah
proses yang oleh Derrida disebut dekonstruksi; dimana sebuah signifier bisa menjadi signified
dari hal lain, dan seterusnya. Begitulah kira-kira gambaran umum hubungan
wacana (media), ideologi, dan relasi kuasa.
Ideologi sendiri—menurut Dijk—secara tidak langsung mengontrol
praktik-praktik sosial secara umum, dan pada gilirannya mengontrol serta
melegitimasi kekuasaan.
........Since
ideologies indirectly control social practices in general, and discourse in particular, the obvious further social
function of ideologies is
that they enable or facilitate joint action, interaction and cooperation of ingroup members, as well as
interactions with outgroup members. These
would be the social micro-level functions
of ideologies.
At
the macro-level of description, ideologies are most commonly described in terms of group relations, such as
those of power and dominance. Indeed, ideologies were traditionally often
defined in terms of the legitimization of dominance,
namely by the ruling class, or by various elite groups or organizations.
In
other words, ideologies are the beginning and end, the source and the goal, of group practices,
and thus geared towards the reproduction of the group
and its power (or the
challenge towards the power of other groups). Traditionally
the term 'dominant ideologies' is used when referring to ideologies employed by dominant groups in the
reproduction or legitimization of
their dominance.[8]
Disini
lah, pemahaman tentang ideologi-ideologi atau relasi kuasa sangat penting dalam
analisa wacana. Kita bisa memulai analisa dengan mengurai secara sederhana
kategori-kategori bagan ideologi untuk kemudian disesuaikan dengan konteks
kasus, kondisi dan kepentingan. Berikut contoh bagan:
Membership
criteria : Who does (not) belong?
Typical
activities : What do we do?
Overall
aims : What do we want? Why do we do it?
Norms
and values : What is good or bad for us?
Position :
What are the relationships with others?
Perlu diperhatikan
pula prinsip seperti berikut:
·
Emphasize positive things about Us.
·
Emphasize negative things about Them.
·
De-emphasize negative things about Us.
·
De-emphasize positive things about
Them.[10]
Tahap analisa
selanjutnya bisa mengidentifikasi struktur wacana (ideologis) lainnya, seperti:
Makna (topics, level of description,
implications dan presuppositions,
local coherence, synonymy, paraphrase, contrast, examples dan illustrations, disclaimers), propositonal structures (actor, modality,evidentiality, hedging
dan vagueness), formal structures, sentence-syntax, discourse forms, argumentation,
rethoric, action-interaction,[11]
atau hasil akan lebih lengkap jika, analisa kita dipadukan dengan teori atau
metode yang berhubungan lebih dekat dengan fokus permasalahan, misal; wacana
dominasi dan perjuangan kelas (marxian
theory), gender, feminisme dsb.
Mass media: dari legitimasi kuasa hingga sarana kritik
sosial
Media massa apapun bentuknya dalam satu sisi menjadi alat pengontrol kuasa,
dan di sisi lain ia juga digunakan sebagai sarana kritik; sehingga ia tak
ubahnya seperti sebilah pisau; yang dalam kasus ini posisi awalnya dipandang ‘bebas
nilai’. Semua tergantung si pemakai, meski kebanyakan pada kenyataanya media
hadir sebagai sarana
konstruktif-hegemonik—“penyambung lidah” penguasa (politik, ekonomi, agama; status quo)[12].
Tradisi
kritik semakin berpeluang sebenarnya untuk mengisi fitur-fitur atau wacana
dalam media massa, dengan sarana globalisasi—yang dipandang ‘tanpa batas’. Hal
ini didukung pula misalnya dengan tradisi citizen
journalism, meskipun ini juga terasa lebih sulit pemanfaatannya dalam
kaitannya dengan efek ‘suara’ kritik terhadap khalayak konsumen wacana.
Untuk
merespon atau menganalisa wacana, kita ‘disuguhi’ paling tidak tiga dasar
paradigma (paradigm of inquiry)
besar: analisis wacana positivisme (positivist discourse analysis), analisis
wacana interpretivisme (interpretivist
discourse analysis), dan analisis wacana kritis (critical discourse analysis).
Paradigma
positivisme melihat bahasa sebagai perantara manusia dengan objek (kondisi) di
luar dirinya. Jadi, wacana dipandang objektif; bebas dari subjektivitas yang
melatar belakangi nya, sehingga si analis tidak perlu ‘curiga’ berlebihan.
Perangkat utama analisa ini adalah pemahaman metode sintaksis dan semantik yang
lebih memperhatikan aspek internal (bahasa) wacana.
Interpretivis
menolak pengandaian analis positivis bahwa wacana bersifat objektif dan ada
jarak dengan subjek (manusia). Dalam tradisi interpretivisme manusia sebagai
subjek mempunyai andil besar dalam praktik berwacana. Media pada kenyataannya
adalah sarana untuk menyambung kepentingan subjek, sehingga analisa wacana
dipahami sebagai upaya menyingkap kepentingan dan nilai-nilai dari subjek.
Berbeda
dengan keduanya, para analis kritis justru lebih jauh dalam memandang praktik
berwacana. Para analis kritis memandang adanya proses produksi dan reproduksi
makna (juga kepentingan), yang berkaitan erat dengan relasi kuasa (hegemony-domination). Individu atau
kelompok—baik sebagai subjek ataupun objek—, dalam konstelasi wacana dipandang
tidak terbebas dari kepentingan (ideology,
economy) dan relasi kekuasaan.[13]
Pada
giliran selanjutnya semua itu tergantung kita—sebagai analis atau minimal
pembaca—memilih metode tertentu dengan berpijak pada suatu paradigma, atau
dengan cara yang sama sekali tidak mempunyai metode yang terstruktur; berpijak
kuat pada wawasan (interdisciplinary)
dan pengalaman serta pengetahuan ‘kebahasaan’ kita sendiri. Hal ini mengingat
bahwa manusia adalah makhluk ‘berbahasa’ (komunikatif), dan karena aspek bahasa
pulalah—dengan logika sebagai akibat-sekaligus pelengkapnya—pada hakikatnya
manusia itu spesial dan dibedakan dengan makhluk Tuhan lainnya. Bahasa adalah satu
modal penting (anugerah) Tuhan untuk makhluk yang bernama manusia.
Tesis “Al Insaan Hayaawan Naathiq” pun—oleh
tradisi kaum bayaniyan (language-based logician, seperti Imam
Syafi’i dan al-Jahid di dunia Arab-Islam)—diantitesis
dengan sintesis “al Insaan Hayaawan
Mubiin”[14].
Dan paragraf penutup ini semoga bisa menjadi motivasi bagi kita—yang mungkin
masih awam dalam penguasaan teori, metode, dan praktik analisa wacana
(media)—untuk melakukan sembari sambil terus belajar tentang tradisi analisa.
(Selamat
‘bermain’ dengan wacana. Smoga bermanfaat)
[12] Kecenderungan penguasa di era globlasisasi seperti
sekarang ini, dalam melegitimasi & melanggengkan kuasa dengan discursive-hegemonic
(spiritual-psychological) force,
dari pada coercive (fisical) force,
seperti militarism.
[13] Bisa dibaca di Analisis
Wacana Kritis sebagai Ragam Paradigma Kajian Wacana (Sakban Rosidi, artikel 2007.
Pdf.version)
[14] Baca lebih lanjut di,
misalnya karya Abed Al-Jabiri Bunyatu
al-Aqli al-Arabi dalam proyek Naqdu Aqli Al-Arabi
0 komentar:
Posting Komentar