Kita dan Budaya Membaca
Saya awali tulisan ini dengan
refleksi atas aktivitas ‘pembacaan’ kita, yang mungkin sampai hari ini belum
kuat dalam tradisi, hingga menjadi perilaku budaya. Budaya membaca secara tidak
langsung mempunyai keterkaitan erat dengan aktivitas analisa sosial (atau juga
macam analisa lainnya). Dari tradisi membaca, kita pada gilirannya akan
‘dibawa’, ‘dibimbing’ atau ‘diarahkan’ dengan sendirinya pada tradisi menulis.
Sejak lama bangsa kita hanya kuat dalam tradisi lisan—yang akibatnya tradisi
mendengar—sehingga untuk menjelaskan dan mengekspresikan laku dan identitas
diri saja (dalam tulisan tentunya) kita kesulitan, atau mungkin ‘tak
terfikirkan’. Di satu sisi, orang lain (terutama bangsa Eropa) sudah sejak lama
(era koloni) ‘membaca’; mengupas kedirian dan sistem hidup kita. Sehingga,
‘menjadi’ dan bahkan ‘mengalami’ Indonesia (Islam, Jawa, dll) tidak serta-merta
membuat kita memahami dan mengetahui (banyak) tentangnya, yang sebenarnya jelas-jelas
inheren.
Pada gilirannya, jika generasi
selanjutnya (seperti kita) hendak belajar (written
form-text) atau menulis tentang sejarah bangsa, agama atau budaya kita
misalnya, akan cenderung (dan lebih mudah) merujuk pada karya-karya para
orientalis[1]
(misal karya-karya Multatuli, Clifford G, Dennis Lombad). Efek-sampingnya
adalah semakin kaburnya identitas dan karakter kita sebagai bangsa.
Dari gambaran singkat ini, kita
harus berusaha mentradisikan baca-tulis, sehingga (paling tidak) bisa seimbang
dengan tradisi lisan-simak. Dengan mentradisikan baca-tulis kita akan
benar-benar mampu menjadi subjek (fail)
paling tidak untuk bangsa sendiri.
Menjadi ‘Subjek’ via Analisa Sosial
(AnSos)
Hari-hari ini jika mendengar
aktivitas ‘AnSos’ (misal di daerah tertentu), pikiran (assumption) kita akan secara cepat terasosiasi pada referensi
politis atau ‘kepentingan kuasa’. Asumsi, persepsi atau bahkan keyakinan
tersebut tidak bisa juga disalahkan. Memang, aktivitas AnSos selalu melibatkan
kepentingan, minimal atas dasar tujuan-niat ilmiah, meski pada
kenyataanya—terutama saat menjelang pemilu atau proyek besar korporasi—lebih
sering bersifat politis-pragmatis. Pada akhirnya, mari anggap itu sebagai suatu
kewajaran. Yang terpenting, mari kita belajar menjadi subjek dengan AnSos;
syukur-syukur bisa membaca sosial-masyarakat kita (mikro/makro), sekaligus
menjadi agen perubahan untuk masyarkat kita sendiri.
Melakukan AnSos pada masyarakat kita
berarti kita harus siap dan mampu memposisikan kita menjadi subjek di satu
sisi, dan di sisi lain menjadi (bagian) objek (teks AnSos). Subjektivitas
diyakini oleh banyak analis adalah sebuah keniscayaan dalam AnSos, tetapi dalam
kasus ini ‘(K)ita’ (subjek/fa’il)
harus berusaha membuat jarak (distinction)
dengan ‘(k)ita’ (objek/maf’ul),
sehingga objektivitas hasil akan bisa terjaga.
Perjumpaan Awal dengan AnSos
Tulisan ini saya maksudkan sebagai
sebuah pengantar perkenalan dengan AnSos, Meski sudah tidak asing lagi
dengannya, semoga akan tetap bermanfaat bagi kita sehingga bisa semakin
melengkapi aplikasi-praktik AnSos kita.
AnSos secara umum adalah sebuah
upaya seseorang atau kelompok untuk mendapatkan gambaran lebih jelas tentang
kondisi atau situasi sosial dengan menggali aspek kesejarahan dan nilai-nilai
tertentu dalam kaitannya dengan fenomena sosial. Atau, menurut sebagian
sosiolog[2] didefinisikan
sebagai ‘usaha’ untuk lebih memahami situasi sosial dengan menggali
hubungan-hubungan historis dengan struktural di dalamnya.
Tujuan AnSos paling-tidak adalah
untuk membongkar (discover)
problematika atau ketimpangan sosial di sekitar kita, hingga—diusahakan—sampai
ke akar-akar masalah beserta macam-macam motif-nya. Objek AnSos adalah fakta,
struktur, pelaku, dan sistem sosial; meski banyak perbedaan teoritis-metodologis
di kalangan teoritisi atau praktisi sosiologi (juga cultural studies), yang berakibat pula pada (fokus) objek yang
dikaji. Diversitas teori, metode dan teknik dalam praktik AnSos diantaranya
disebabkan oleh perbedaan paradigma[3].
Paradigma dan diversitas teori
(metode) dalam AnSos tidak jauh beda dengan yang ada pada Analisis Wacana atau
analisis teks (sosial-humaniora) lainnya. Misalnya, secara umum (general) ada paradigma positivisme
(strukturalisme), interpretivisme (fenomenologis), dan kritis (misal: madzah
Franfrut dan tokoh-tokoh posmodernisme).
Paradigma dan metode dalam AnSos
dipengaruhi—terutama—oleh perjalanan dan perkembangan ilmu sosiologi dan cultural studies. Menurut Ritzer ada
tiga paradigma dominan dalam ilmu sosiologi: paradigma fakta sosial, definisi sosial, dan
perilaku sosial:[4]
Paradigma Fakta
Sosial.
1.
Eksemplar. Model yang digunakan teoritisi
fakta sosial adalah karya Emile Durkheim, terutama The Rules of Sociological Method dan Suicide.
2.
Gambaran tentang masalah pokok. Teoritisi fakta sosial
memusatkan perhatian pada apa yang disebut Durkheim fakta sosial atau struktur dan institusi sosial berskala luas.
Mereka yang menganut paradigma ini tak hanya memusatkan perhatian pada fenomena
fakta sosial ini tetapi juga pada pengaruhnya terhadap pikiran dan tindakan
individu.
3.
Metode. Penganut paradigma ini lebih besar
kemungkinannya menggunakan metode interview-kuesioner dan metode perbandingan
sejarah ketimbang penganut paradigma lain.
4.
Teori. Paradigma ini mencakup sejumlah
perspektif teoritis. Teoritisi struktural fungsional cenderung melihat fakta
sosial sama kerapian antar hubungan dan keteraturannya dengan yang
dipertahankan oleh konsensus umum. Teoritisi konflik cenderung menekankan
kekacauan antara fakta sosial dan gagasan mengenai keteraturan dipertahankan
melalui kekuatan yang memaksa dalam masyarakat. Walaupun
struktural-fungsionalisme dan teori konflik adalah teori-teori yang deominan
dalam paradigma ini, namun masih ada teori lain, termasuk teori sistem.
Paradigma Definisi Sosial.
1.
Eksemplar. Model yang mempersatukan
penganut paradigma ini adalah karya Max Weber tentang tindakan sosial.
2.
Gambaran tentang masalah pokok.
Karya Weber membantu menimbulkan minat di kalangan penganut paradigma
ini dalam mempelajari cara aktor mendefinisikan siutasi sosial mereka dan dalam
mempelajari pengaruh definisi situasi sosial ini terhadap tindakan dan
integrasi berikutnya.
3.
Metode. Walau penganut paradigma ini
sangat besar kemungkinannya menggunakan metode interview-kuesioner, mereka
lebih besar kemungkinannya menggunakan metode observasi ketimbang penganut
paradigma lain. Dengan kata lain, observasi adalah metode khusus penganut
paradigma definisi sosial.
4.
Teori. Ada sejumlah besar teori yang
dapat dimasukkan ke dalam paradigma ini: teori tindakan, interaksionisme
simbolik, fenomenologi, etnometodologi, dan eksistensialisme.
Paradigma Perilaku Sosial.
1.
Eksemplar. Model bagi penganut paradigma
ini adalah karya psikolog B.F. Skinner.
2.
Gambaran tentang masalah pokok. Menurut penganut paradigma ini,
masalah pokok sosiologi adalah perilaku individu yang tak dipikirkan. Perhatian
utama penganut paradigma ini tertuju pada hadiah (rewards), yang menimbulkan perilaku yang diinginkan dan hukuman (punishments) yang mencegah perilaku yang
tak diinginkan.
3.
Metode. Metode khusus paradigma ini
adalah eksperimen.
4.
Teori. Ada pendekatan teoritis dalam
sosiologi yang dapat dimasukkan ke dalam judul “Behaviorisme Sosial”. Pertama adalah sosiologi behavioral yang berkaitan erat dengan psikologi behaviorisme.
Kedua, yan jauh lebih penting, adalah teori pertukaran.[5]
Dari macam paradigma ini, kita bisa membuat
teknik-praktis sendiri dalam mekukan AnSos, atau bisa mengaplikasikan metode
yang umum, misalnya metode-praktis SWOT, ‘pohon masalah’, mapping stake-holder (AnSos: Analisis
Sosok), atau yang lainnya.
Adapun langkah-langkah AnSos secara
garis besar sama dengan analisis lainnya:
·
Menentukan objek (teks sosial) yang hendak dianalisa
sekaligus membangun perumusan (fokus) masalah (problematika sosial)
·
Membangun konsep—minimal asumsi—teoritis yang tepat (appropriate) atas konteks, serta
pertanyaan-pertanyaan dan definisi (defining)
kunci tentang struktur dan kultur terkait.
·
Mengumpulkan data (terutama primer) dan pendukung
(supporting-additional) terkait fenomena sosial (fakta, struktur-fungis, atau
perilaku-hubungan), khususnya yang terkait erat dengan fokus masalah.
·
Mengidentifikasi, mengklasifikasi dan menganalis masalah.
·
Menguji sekilas atau mempersepsikan temuan ‘awal’, dalam
rangka menjaga keabsahan (authenticity).
Aksi Advokasi sebagai Konskuensi
Akibat dari hasil AnSos adalah aksi
gerakan dalam rangka memecahkan masalah sosial (makro/mikro). Dari data-data
yang telah terhimpun dan temuan-temuan analisa—misalnya terakait kendala,
motif, atau akar masalah beserta kekuatan dan kelemahan—kita akan lebih mudah
dan ‘bernas’ dalam proses aksi advokasi.
Langkah-langkah advokasi akan lebih
mudah (sistematis dan by design),
sehingga membuahkan hasil yang lebih maksimal. Secara ideal, temuan AnSos
mengarahkan kita pada gerakan perubahan, perjuangan (kelas, ketimpangan atau
ketertindasan) sosial yang berkeadilan—meski sulit (atau bahkan ada yang
meyakini tidak bisa) diwujudkan.[7]
Akhirnya, menjadi ‘subjek’ (fa’il) dalam AnSos (membaca) akan
semakin sempurna—pemanfaatannya—dengan menjadi ‘subjek’ dalam aksi advokasi
atau gerakan perubahan lainnya, sehingga pada gilirannya kita akan menjadi
benar-benar mandiri dalam keilmuan dan praktik kehidupan dan peradaban. Semoga.[8]
Selamat bergerak: “Iqro’ bi ismi Robbi-ka al-ladzi
kholaq................”
“Selamat pagi
‘para pembaca, selamat tidur ‘para pendengar-penikmat’, selamat selalu ‘para
penulis-pelaku’. Mari kita selamatkan ‘para korban (mustadl’afiin)’ atas semua
ketimpangan”
Semoga bermanfaat.amiin
[1] Istilah para peneliti, penulis atau pemikir ‘barat’ yang
menjadikan ‘timur’ sebagai teks (objek) kajian, yang secara otomatis diposisi liyan (others) bagi mereka. Antonimnya:
Oksidentalis
[3] Diversitas paradigma—menurut Thomas Kuhn—diakibatkan oleh
konstelasi-pertentangan dan perkembangan dalam ilmu pengetahuan, yang alurnya
digambarkan seperti: Paradigma I—> Ilmu normal—>
Anomali—Krisis—Revolusi—>Paradigma II, dan seterusnya. Dan paradigma
terdahulu tidak semerta-merta terhapus; dalam mempengaruhi praktik AnSos
misalnya.
[5] Ibid, A-14 - 15 (terj. Ind.). lebih jelas bisa dibaca Teori Sosiologi Modern(Ritzer, George
& J. Goodman, Douglas,)
[6] Dianggap final, sebab bisa dilengkapi atau direvisi
dengan analisa-analisa berikutnya (lebih komprehensif)
[7] Untuk pengayaan bisa dibaca: Classes in Modern Society (T.B. Bottomore, Pantheon Books New York, 1966)
0 komentar:
Posting Komentar