Selasa, 09 April 2013

Mengkaji untuk Aksi Menuju Gerakan Advokasi (Sebuah pengantar minimalis)


Kita dan Budaya Membaca
            Saya awali tulisan ini dengan refleksi atas aktivitas ‘pembacaan’ kita, yang mungkin sampai hari ini belum kuat dalam tradisi, hingga menjadi perilaku budaya. Budaya membaca secara tidak langsung mempunyai keterkaitan erat dengan aktivitas analisa sosial (atau juga macam analisa lainnya). Dari tradisi membaca, kita pada gilirannya akan ‘dibawa’, ‘dibimbing’ atau ‘diarahkan’ dengan sendirinya pada tradisi menulis. Sejak lama bangsa kita hanya kuat dalam tradisi lisan—yang akibatnya tradisi mendengar—sehingga untuk menjelaskan dan mengekspresikan laku dan identitas diri saja (dalam tulisan tentunya) kita kesulitan, atau mungkin ‘tak terfikirkan’. Di satu sisi, orang lain (terutama bangsa Eropa) sudah sejak lama (era koloni) ‘membaca’; mengupas kedirian dan sistem hidup kita. Sehingga, ‘menjadi’ dan bahkan ‘mengalami’ Indonesia (Islam, Jawa, dll) tidak serta-merta membuat kita memahami dan mengetahui (banyak) tentangnya, yang sebenarnya jelas-jelas inheren.
            Pada gilirannya, jika generasi selanjutnya (seperti kita) hendak belajar (written form-text) atau menulis tentang sejarah bangsa, agama atau budaya kita misalnya, akan cenderung (dan lebih mudah) merujuk pada karya-karya para orientalis[1] (misal karya-karya Multatuli, Clifford G, Dennis Lombad). Efek-sampingnya adalah semakin kaburnya identitas dan karakter kita sebagai bangsa.
            Dari gambaran singkat ini, kita harus berusaha mentradisikan baca-tulis, sehingga (paling tidak) bisa seimbang dengan tradisi lisan-simak. Dengan mentradisikan baca-tulis kita akan benar-benar mampu menjadi subjek (fail) paling tidak untuk bangsa sendiri.

Menjadi ‘Subjek’ via Analisa Sosial (AnSos)
            Hari-hari ini jika mendengar aktivitas ‘AnSos’ (misal di daerah tertentu), pikiran (assumption) kita akan secara cepat terasosiasi pada referensi politis atau ‘kepentingan kuasa’. Asumsi, persepsi atau bahkan keyakinan tersebut tidak bisa juga disalahkan. Memang, aktivitas AnSos selalu melibatkan kepentingan, minimal atas dasar tujuan-niat ilmiah, meski pada kenyataanya—terutama saat menjelang pemilu atau proyek besar korporasi—lebih sering bersifat politis-pragmatis. Pada akhirnya, mari anggap itu sebagai suatu kewajaran. Yang terpenting, mari kita belajar menjadi subjek dengan AnSos; syukur-syukur bisa membaca sosial-masyarakat kita (mikro/makro), sekaligus menjadi agen perubahan untuk masyarkat kita sendiri.
            Melakukan AnSos pada masyarakat kita berarti kita harus siap dan mampu memposisikan kita menjadi subjek di satu sisi, dan di sisi lain menjadi (bagian) objek (teks AnSos). Subjektivitas diyakini oleh banyak analis adalah sebuah keniscayaan dalam AnSos, tetapi dalam kasus ini ‘(K)ita’ (subjek/fa’il) harus berusaha membuat jarak (distinction) dengan ‘(k)ita’ (objek/maf’ul), sehingga objektivitas hasil akan bisa terjaga.

Perjumpaan Awal dengan AnSos
            Tulisan ini saya maksudkan sebagai sebuah pengantar perkenalan dengan AnSos, Meski sudah tidak asing lagi dengannya, semoga akan tetap bermanfaat bagi kita sehingga bisa semakin melengkapi aplikasi-praktik AnSos kita.
            AnSos secara umum adalah sebuah upaya seseorang atau kelompok untuk mendapatkan gambaran lebih jelas tentang kondisi atau situasi sosial dengan menggali aspek kesejarahan dan nilai-nilai tertentu dalam kaitannya dengan fenomena sosial. Atau, menurut sebagian sosiolog[2] didefinisikan sebagai ‘usaha’ untuk lebih memahami situasi sosial dengan menggali hubungan-hubungan historis dengan struktural di dalamnya.
            Tujuan AnSos paling-tidak adalah untuk membongkar (discover) problematika atau ketimpangan sosial di sekitar kita, hingga—diusahakan—sampai ke akar-akar masalah beserta macam-macam motif-nya. Objek AnSos adalah fakta, struktur, pelaku, dan sistem sosial; meski banyak perbedaan teoritis-metodologis di kalangan teoritisi atau praktisi sosiologi (juga cultural studies), yang berakibat pula pada (fokus) objek yang dikaji. Diversitas teori, metode dan teknik dalam praktik AnSos diantaranya disebabkan oleh perbedaan paradigma[3].
            Paradigma dan diversitas teori (metode) dalam AnSos tidak jauh beda dengan yang ada pada Analisis Wacana atau analisis teks (sosial-humaniora) lainnya. Misalnya, secara umum (general) ada paradigma positivisme (strukturalisme), interpretivisme (fenomenologis), dan kritis (misal: madzah Franfrut dan tokoh-tokoh posmodernisme).
            Paradigma dan metode dalam AnSos dipengaruhi—terutama—oleh perjalanan dan perkembangan ilmu sosiologi dan cultural studies. Menurut Ritzer ada tiga paradigma dominan dalam ilmu sosiologi: paradigma fakta sosial, definisi sosial, dan perilaku sosial:[4]
                Paradigma Fakta Sosial.
1.        Eksemplar. Model yang digunakan teoritisi fakta sosial adalah karya Emile Durkheim, terutama The Rules of Sociological Method dan Suicide.
2.        Gambaran tentang masalah pokok. Teoritisi fakta sosial memusatkan perhatian pada apa yang disebut Durkheim fakta sosial atau struktur dan institusi sosial berskala luas. Mereka yang menganut paradigma ini tak hanya memusatkan perhatian pada fenomena fakta sosial ini tetapi juga pada pengaruhnya terhadap pikiran dan tindakan individu.
3.        Metode. Penganut paradigma ini lebih besar kemungkinannya menggunakan metode interview-kuesioner dan metode perbandingan sejarah ketimbang penganut paradigma lain.
4.        Teori. Paradigma ini mencakup sejumlah perspektif teoritis. Teoritisi struktural fungsional cenderung melihat fakta sosial sama kerapian antar hubungan dan keteraturannya dengan yang dipertahankan oleh konsensus umum. Teoritisi konflik cenderung menekankan kekacauan antara fakta sosial dan gagasan mengenai keteraturan dipertahankan melalui kekuatan yang memaksa dalam masyarakat. Walaupun struktural-fungsionalisme dan teori konflik adalah teori-teori yang deominan dalam paradigma ini, namun masih ada teori lain, termasuk teori sistem.
Paradigma Definisi Sosial.
1.        Eksemplar. Model yang mempersatukan penganut paradigma ini adalah karya Max Weber tentang tindakan sosial.
2.        Gambaran tentang masalah pokok.  Karya Weber membantu menimbulkan minat di kalangan penganut paradigma ini dalam mempelajari cara aktor mendefinisikan siutasi sosial mereka dan dalam mempelajari pengaruh definisi situasi sosial ini terhadap tindakan dan integrasi berikutnya.
3.        Metode. Walau penganut paradigma ini sangat besar kemungkinannya menggunakan metode interview-kuesioner, mereka lebih besar kemungkinannya menggunakan metode observasi ketimbang penganut paradigma lain. Dengan kata lain, observasi adalah metode khusus penganut paradigma definisi sosial.
4.        Teori. Ada sejumlah besar teori yang dapat dimasukkan ke dalam paradigma ini: teori tindakan, interaksionisme simbolik, fenomenologi, etnometodologi, dan eksistensialisme.
Paradigma Perilaku Sosial.
1.        Eksemplar. Model bagi penganut paradigma ini adalah karya psikolog B.F. Skinner.
2.        Gambaran tentang masalah pokok. Menurut penganut paradigma ini, masalah pokok sosiologi adalah perilaku individu yang tak dipikirkan. Perhatian utama penganut paradigma ini tertuju pada hadiah (rewards), yang menimbulkan perilaku yang diinginkan dan hukuman (punishments) yang mencegah perilaku yang tak diinginkan.
3.        Metode. Metode khusus paradigma ini adalah eksperimen.
4.        Teori. Ada pendekatan teoritis dalam sosiologi yang dapat dimasukkan ke dalam judul “Behaviorisme Sosial”.  Pertama adalah sosiologi behavioral yang berkaitan erat dengan psikologi behaviorisme. Kedua, yan jauh lebih penting, adalah teori pertukaran.[5]
Dari macam paradigma ini, kita bisa membuat teknik-praktis sendiri dalam mekukan AnSos, atau bisa mengaplikasikan metode yang umum, misalnya metode-praktis SWOT, ‘pohon masalah’, mapping stake-holder (AnSos: Analisis Sosok), atau yang lainnya.
            Adapun langkah-langkah AnSos secara garis besar sama dengan analisis lainnya:
·         Menentukan objek (teks sosial) yang hendak dianalisa sekaligus membangun perumusan (fokus) masalah (problematika sosial)
·         Membangun konsep—minimal asumsi—teoritis yang tepat (appropriate) atas konteks, serta pertanyaan-pertanyaan dan definisi (defining) kunci tentang struktur dan kultur terkait.
·         Mengumpulkan data (terutama primer) dan pendukung (supporting-additional) terkait fenomena sosial (fakta, struktur-fungis, atau perilaku-hubungan), khususnya yang terkait erat dengan fokus masalah.
·         Mengidentifikasi, mengklasifikasi dan menganalis masalah.
·         Menguji sekilas atau mempersepsikan temuan ‘awal’, dalam rangka menjaga keabsahan (authenticity).
·         Menarik kesimpulan hingga muncul hasil ‘final’[6]
Aksi Advokasi sebagai Konskuensi
            Akibat dari hasil AnSos adalah aksi gerakan dalam rangka memecahkan masalah sosial (makro/mikro). Dari data-data yang telah terhimpun dan temuan-temuan analisa—misalnya terakait kendala, motif, atau akar masalah beserta kekuatan dan kelemahan—kita akan lebih mudah dan ‘bernas’ dalam proses aksi advokasi.
            Langkah-langkah advokasi akan lebih mudah (sistematis dan by design), sehingga membuahkan hasil yang lebih maksimal. Secara ideal, temuan AnSos mengarahkan kita pada gerakan perubahan, perjuangan (kelas, ketimpangan atau ketertindasan) sosial yang berkeadilan—meski sulit (atau bahkan ada yang meyakini tidak bisa) diwujudkan.[7]
            Akhirnya, menjadi ‘subjek’ (fa’il) dalam AnSos (membaca) akan semakin sempurna—pemanfaatannya—dengan menjadi ‘subjek’ dalam aksi advokasi atau gerakan perubahan lainnya, sehingga pada gilirannya kita akan menjadi benar-benar mandiri dalam keilmuan dan praktik kehidupan dan peradaban. Semoga.[8]
Selamat bergerak: “Iqro’ bi ismi Robbi-ka al-ladzi kholaq................”
“Selamat pagi ‘para pembaca, selamat tidur ‘para pendengar-penikmat’, selamat selalu ‘para penulis-pelaku’. Mari kita selamatkan ‘para korban (mustadl’afiin)’ atas semua ketimpangan”
Semoga bermanfaat.amiin


[1] Istilah para peneliti, penulis atau pemikir ‘barat’ yang menjadikan ‘timur’ sebagai teks (objek) kajian, yang secara otomatis diposisi liyan (others) bagi mereka. Antonimnya: Oksidentalis
[2] Misal Holland, Joe & Henriot, Peter dalam Analisis Sosial dan Refleksi teologis, 1986
[3] Diversitas paradigma—menurut Thomas Kuhn—diakibatkan oleh konstelasi-pertentangan dan perkembangan dalam ilmu pengetahuan, yang alurnya digambarkan seperti: Paradigma I—> Ilmu normal—> Anomali—Krisis—Revolusi—>Paradigma II, dan seterusnya. Dan paradigma terdahulu tidak semerta-merta terhapus; dalam mempengaruhi praktik AnSos misalnya.
[4] Ritzer, George & J. Goodman, Douglas, Teori Sosiologi Modern, Apendik-13  (terj. Ind.)
[5] Ibid, A-14 - 15  (terj. Ind.). lebih jelas bisa dibaca Teori Sosiologi Modern(Ritzer, George & J. Goodman, Douglas,)
[6] Dianggap final, sebab bisa dilengkapi atau direvisi dengan analisa-analisa berikutnya (lebih komprehensif)
[7] Untuk pengayaan bisa dibaca: Classes in Modern Society (T.B. Bottomore, Pantheon Books New York, 1966)
[8] Dengan tangan terkepal dan maju-berkembang kemuka: PMII as Cultural Army.

0 komentar:

Posting Komentar