“Pernahkah kamu mendengar nama
Soe Hok Gie ?”
“Enggak. Soe Hok Gie? Siapa ya? Kayaknya pernah denger namanya, tapi
lupa..yang ada di film Gie itu bukan? ”
Mungkin
jawaban diataslah yang akan muncul di benak anda saat ditanya tentang Soe Hok
Gie. Ya memang benar, Soe Hok Gie yang dimaksud disini adalah sosok yang pernah
diangkat ke dalam film layar lebar berjudul Gie, yang dibintangi Nicholas
Saputra.
Soe Hok Gie,
atau akrab dipanggil Soe atau juga dipanggil Hok-Gie adalah mahasiswa yang
pernah berkuliah di Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra Universitas Indonesia
(sekarang FIB UI) tahun 1962 - 1969. Ia merupakan aktivis gerakan mahasiswa
tahun 1966 yang menentang Pemimpin Besar Revolusi, Presiden Soekarno dalam demonstrasi
mahasiswa.
Hok-Gie
merupakan salah satu mahasiswa UI yang terlibat dalam dunia pergerakan
mahasiswa. Dari kampus FS UI yang kala itu berada di Rawamangun, ia mengajak
para mahasiswa UI untuk menentang ketidak-adilan pemerintah; dimana saat itu
korupsi dan suap merajalela dalam tubuh pemerintahan dan perusahaan –
perusahaan BUMN. Ia juga merupakan pendiri Mapala UI (kala itu masih merupakan
Mapala FS UI, belum menjadi Mapala UI). Pada saat memimpin pendakian gunung
Slamet 3.442m dpl, ia mengutip Walt Whitman dalam catatan hariannya, “Now I see the secret of the making of the
best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth”.
Soe Hok Gie : secara personal
Hok-Gie lahir
pada 17 Desember 1942, pada saat perang Asia atau Perang Dunia Kedua sedang
berkecamuk. Seorang putra dari pasangan Soe Lie Pit —seorang novelis— dengan
Nio Hoe An. Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe
Lie Piet alias Salam Sutrawan, Soe Hok Gie merupakan adik dari Soe Hok Djie
yang juga dikenal dengan nama Arief Budiman. Sesudah lulus SD, kakak beradik
itu memilih sekolah yang berbeda, Hok Djin (Arief Budiman) memilih masuk
Kanisius, sementara Soe Hok Gie memilih sekolah di Sekolah Menengah Pertama
(SMP) Strada di daerah Gambir. Pada waktu kelas dua di sekolah menengah ini,
prestasi Soe Hok Gie buruk. Bahkan ia diharuskan untuk mengulang. Ia
menceritakan dalam catatan hariannya (yang kemudian dibukukan oleh Dhaniel
Dhakidae dengan judul Catatan Seorang
Demonstran) bahwa seorang guru Ilmu Bumi menurunkan nilai ujian Hok-Gie.
Seharusnya Hok-Gie mendapat nilai 8 namun diturunkan menjadi 5. Melihat
kesewenang – wenangan gurunya ia protes karena ia memang ia harusnya mendapat
nilai 8. Ia akhirnya harus mengulang namun ia lebih memilih untuk pindah
sekolah. Dalam catatan pribadinya ia menulis “Guru model begituan, yang tidak
tahan dikritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar.
Dan murid bukan kerbau”. Begitu tulis anak muda yang sampai hari ajalnya tetap
tidak bisa mengendarai sepeda motor, apalagi mobil. Ia berkata “Gue Cuma bisa
naik sepeda, juga pandai menggenjot becak, karena di dekat rumah gue ada
pangkalan becak”.
Sikap
kritisnya semakin tumbuh ketika ia mulai berani mengungkit ketidak-adilan
sosial yang ada di sekelilingnya dan di masyarakat. Saat ia menjelang remaja,
Hok-Gie melihat seorang yang dilihat dari tampangnya bukan pengemis namun
karena kelaparan maka orang tersebut memungut kulit mangga dan kemudian
memakannya. Ia kemudian memberikan uang sakunya yang Cuma Rp 2,50 pada orang
tersebut. Peristiwa tersebut terjadi dua kilometer di seberang istana
negara. Dalam catatan hariannya ia
menulis, “Ya, dua kilometer dari pemakan kulit mangga, ‘paduka’ kita mungkin
lagi tertawa – tawa, makan – makan dengan istri – istrinya yang cantik –
cantik. Aku besertamu orang – orang malang”. (Sudah menjadi rahasia umum
dikalangan masyarakat saat itu bahwa Presiden Soekarno memiliki istri lebih
dari satu dan sering mengadakan pesta di istana; baik di istana negara di
Jakarta, istana Bogor, maupun istana TampakSiring di Bali).
Bulan
September 1961 dia mengikuti tes masuk Universitas Indonesia. Dan akhirnya
masuk jurusan Sejarah. Universitas Indonesia pada saat itu menjadi ajang
pertarungan bagi kaum intelektual pendukung Soekarno dan penentang Soekarno.
Mungkin sejak belajar di Universitas Indonesia, dan suasana yang dialaminya
maka Hok-Gie semakin sadar bahwa ia harus mengambil posisi sebagai seorang
intelektual atau cendekiawan, seseorang yang menggunakan ilmu dan kepandaian
yang dimilikinya untuk menganalisa secara obyektif permasalahan yang ada di
sekitarnya dan di masyarakat dan menentukan solusi bagi permasalahan tersebut
secara bijaksana. Sejak itulah Hok-Gie kemudian memutuskan untuk mengikuti dunia
pergerakan mahasiswa. Pemikiran dan sepak terjang Hok-Gie di tahun 1960-an
nampaknya masih relevan dengan kondisi Indonesia sekarang ini. Indonesia tetap
membutuhkan kaum intelektual yang bukan saja kaya akan konsep – konsep ilmiah,
namun juga mau terjun langsung ke lapangan. Kaum Intelektual Indonesia bukanlah
cendekia yang yang tinggal di “Menara Gading” dan tidak memperdulikan kondisi
masyarakat yang hidup di dasar menara. Seorang mahasiswa sebagai kaum
intelektual haruslah siap bagaikan “pertapa yang turun dari tempat pertapaan
mereka di gunung – gunung sepi untuk mengabdi pada rakyatnya”. Artinya, hasil
kontemplasi pemikirannya sebagai pertapa yang menimba ilmu di unversitas
diimplementasikan atau diwujudkan dalam pemikiran dan tindakan nyata di masyarakat.
Kondisi Indonesia saat itu..
Pada saat itu,
kondisi Indonesia dalam keadaan terpuruk. Karena kondisi politik yang kacau
akibat jatuh bangunnya kabinet dalam sistem demokrasi parlementer serta
gagalnya usaha untuk kembali ke UUD 1945 dengan melalui Konstituante dan
rentetan peristiwa-peristiwa politik yang mencapai klimaksnya dalam bulan Juni
1959, akhirnya mendorong Presiden Soekarno untuk sampai kepada kesimpulan bahwa
telah muncul suatu keadaan kacau yang membahayakan kehidupan negara. Atas kesimpulannya
tersebut, Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959, dalam suatu acara resmi
di Istana Merdeka, Soekarno mengumumkan Dekrit Presiden mengenai pembubaran
Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 dalam kerangka sebuah sistem
demokrasi yakni Demokrasi Terpimpin. Presiden Soekarno juga mencetuskan MANIPOL
USDEK (Manifesto Politik UUD 1945, Sosialisme Indonesia dan Demokrasi
Terpimpin) dan golongan NASAKOM (Nasionalis, Agama dan Komunis).
Namun
seiring dengan berjalannya waktu, sistem Demokrasi Terpimpin malah menggiring
Indonesia dalam kemelaratan. Ganefo dan Conefo yang diselenggarakan untuk
mempersatukan negara – negara berkembang menjadi kekuatan yang menyamai blok
negara – negara maju malah menguras keuangan negara yang seharusnya dapat digunakan
untuk mengentaskan rakyat miskin. Belum lagi karena korupsi yang dilakukan oleh
orang – orang terdekat Presiden Soekarno dan para pejabat pemerintahan. Hal ini
menyebabkan kondisi ekonomi Indonesia semakin terpuruk. Kondisi ini diperparah
dengan peristiwa pemberontakan Gerakan 30 September dimana para Jenderal TNI
diculik dan dibunuh oleh PKI. Ditengah kekacauan politik dan ekonomi inilah
maka kemudian muncul kemarahan rakyat dan mahasiswa yang meminta supaya hal
kondisi ekonomi dan politik dipulihkan. Namun, kondisi malah semakin parah
dengan dinaikkannya harga bahan makanan pokok dan harga bahan bakar minyak.
Puncaknya, mahasiswa melakukan long march
dan demonstrasi pada tahun 1966 menuntut Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat), yaitu
: Turunnya harga – harga, Pembubaran kabinet Dwikora, dan Pembubaran PKI &
ormas – ormasnya. Peristiwa - peristiwa inilah yang kemudian mendorong
berakhirnya masa Orde Lama dan mulainya masa Orde Baru pimpinan Presiden
Soeharto.
Pergerakan mahasiswa di masa sekarang
Impian
Hok – Gie untuk membangun Indonesia yang lebih adil, makmur, sejahtera, dan
demokratis masih sangat relevan hingga saat ini. Dalam usia Republik Indonesia
yang ke – 65 tahun pada 2010 ini, ternyata bangsa kita belum semuanya menikmati
rasa keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan. Sistem demokrasi Indonesia yang
datang silih berganti ternyata juga belum mampu membawa Indonesia ke situasi
yang amat diidam – idamkan itu.
Nuansa
pergerakan mahasiswa Indonesia memang berubah dari zaman ke zaman. Di awal
pra-kemerdekaan, mereka berjuang untuk membangun fondasi kebangsaan yang kokoh.
Pada awal kemerdekaan mereka juga masih berjuang untuk membangun rasa
keindonesiaan yang mendalam. Baru pada masa 1960-an para kaum intelektual
kampus mulai berbicara mengenai Ampera atau Amanat Penderitaan Rakyat. Ini yang
kemudian juga mengilhami pembuatan lagu “Genderang UI” yang pada bait
terakhirnya berbunyi “..Universitas Indonesia perlambang cita/berdasarkan
Pancasila, dasar negara/kobarkan semangat kita/demi Ampera”. Tak heran jika
sejak pertengahan 1960-an para mahasiswa UI seringkali menjadi motor penggerak
gerakan mahasiswa penentang ketidak-adilan dan berjuang sesuai dengan amanat
penderitaan rakyat.
Kelekatan
para mahasiswa pada nasib bangsanya disebabkan antara lain karena sebagai kaum
intelektual muda mereka memiliki privilege
sebagai anak – anak muda yang memiliki kesempatan untuk menimba ilmu sampai
jenjang universitas, terutama mereka yang dapat berkuliah di Universitas
Indonesia yang merupakan kampus rakyat. Melalui bacaan dan kedekatan mereka
pada masyarakatnya, maka terciptalah suatu nuansa cinta pada rakyat yang kurang
mencicipi kekayaan negerinya. Karena itu, amanat penderitaan rakyat menjadi
suatu entitas yang lebih memberi ruang bagi kebebasan, keadilan, kesejahteraan,
dan kemakmuran bagi warga – negaranya.
gie memang luar biasa....saya izin mengcopy fotonya mas
BalasHapus