Persoalan di
dalam dunia pendidikan datang silih berganti. Belum juga selesai perkara satu
datang lagi perkara yang lain seakan ingin menggerogoti wajah pendidikan kita.
Inikah bukti bahwa pendidikan kita memang telah ahistoris?
Orang tua
kembali harus memasang muka murung. Sementara pendidikan telah menjadi sebuah
kebutuhan mendesak di tengah-tengah tingkat kesadaran masyarakat akan
pentingnya arti pendidikan demi menyongsong masa depan lebih baik. Namun,
kesadaran masyarakat tersebut harus dibayar mahal dengan tingginya ongkos yang
mesti dikeluarkan dari kocek terkait kebutuhan administrasi untuk mengakses
pendidikan.
Meski telah
dikritik dengan berbagai cara ongkos pendidikan tidak sama sekali mengalami
penurunan yang signifikan. Para stakehoders enggan menurunkan ongkos pendidikan
dengan berbagai alasan klasik untuk meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan.
Tak pelak, mutu dan kualitas pendidikan kita sadar atau tidak telah diukur
dengan seberapa besar rupiah yang dikeluarkan. Pendidikan dijadikan sebagai
arena pelelangan, siapa yang berani membayar dengan harga tinggi maka ia berhak
memiliki akses pendidikan.
Baru-baru
ini pemerintah, Kemendiknas, mewacanakan untuk mengevaluasi RSBI yang
bermasalah. Wacana evaluasi itu berada di dalam suasana penerimaan siswa baru,
sehingga pihak beberapa sekolah seakan sengaja memanfaatkan kefokusan
pemerintah tentang renacana evaluasi RSBI itu untuk mengeruk kocek masyarakat.
Kongkretnya, pihak sekolah mewajibkan siswa untuk membayar uang seragam dan
buku pelajaran dengan harga yang tinggi. Padahal, jika dibandingkan dengan di
luar sekolah kemungkinan besar ongkos seragam dan buku pelajaran itu cenderung
lebih murah. Dan hal lain, orang tua lebih bebas membeli dua kelengkapan itu
sesuai dengan kapasitas kemampuan biaya masing-masing. Toh, seragam dan buku
pelajaran siswapun sudah dipastikan sama dan serupa sesuai dengan standar
nasional.
Kebijakan
sekolah bahwa siswa wajib membayar uang seragam dan buku pelajaran itu jelas
merupakan praktek komersialisasi pendidikan. Lebih-lebih jika dipatok dengan
harga setinggi langit, tentu garansinya ialah keuntungan besar diperolah dari
hasil penyediaan seragam dan buku pelajaran tersebut. Tinggal dikalikan saja
dengan seluruh jumlah siswa yang diterima. Belum lagi ongkos pendaftaran masuk
siswa yang juga tak pernah mengalami penurunan tapi justru semakin melambung
tiap tahun. Sementara di sisi lain, input serta kualitas pendidikan yang
diterima masyarakat atau peserta didik tak berbanding lurus dengan ongkos yang
harus dikeluarkan itu.
Dunia
pendidikan memang tak bisa dilepaskan dari praktek berbisnis. Sebab, pangsa
pasar di sebuah sekolah telah jelas dan riil serta tak akan lari ke mana-mana.
Berbeda dengan aktivitas berbisnis di luar yang harus bersaing untuk
mendapatkan pangsa pasarnya dari masyarakat. Sekolah, meski mengalami
persaingan, mengingat lembaga pendidikan bertaburan di tiap sudut, tapi
kalkulasinya lebih riil karena masyarakat hari ini sangat membutuhkan
pendidikan formal, terutama bagi anak-anaknya demi sebuah cita-cita mulia.
Pendidikan
sebagai modal untuk menciptakan peradaban serta karakter suatu bangsa kini
tengah dihadapkan pada suatu realitas anomali oleh karena keserakahan penguasa.
Seluruh proses pendidikan di negeri antah berantah ini semata dihitung dengan
logika untung dan rugi (kapitalistik). Memang, jika wilayah pendidikan telah
bersentuhan langsung dengan pasar, maka harus mengikuti kemauan serta keinginan
dari logika bisnis. Dengan kalkulasi, sekali lagi, peserta didik, orang tua dan
masyarakat dijadikan pangsa pasar untuk meraup keuntungan demi menghindari
kerugian setelah proses penanaman investasi berupa prasarana, perangkat serta
kebutuhan dasar pendidikan, seperti bangunan sekolah, sistem, kurikulum, dan
para pekerja (baca: guru) atau pelaksana pendidikan. Maka wajar bila lembaga
pendidikan ibarat pabrik industri yang memproduksi ilmu pengetahuan. Pendidikan
kita tidak dibangun di atas sebuah kesadaran akan kemerdekaan rakyat serta
investasi jangka panjang sebuah negara, tapi lebih pada bentuk investasi
berbasis ekonomi atau pasar demi sebuah keuntungan dan omzet pemasukan ekonomi
belaka. Sehingga, terkadang kita melihat dengan mata telanjang ada praktek
politisasi dalam dunia pendidikan seakan menunjukan bahwa tiap kelompok
memiliki kepentingan atauhidden agenda tersendiri di balik pelaksanaan
pendidikan.
0 komentar:
Posting Komentar