Jumat, 05 April 2013

Lembaga Pendidikan Ibarat Tempat Berjualan


Persoalan di dalam dunia pendidikan datang silih berganti. Belum juga selesai perkara satu datang lagi perkara yang lain seakan ingin menggerogoti wajah pendidikan kita. Inikah bukti bahwa pendidikan kita memang telah ahistoris?

Orang tua kembali harus memasang muka murung. Sementara pendidikan telah menjadi sebuah kebutuhan mendesak di tengah-tengah tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya arti pendidikan demi menyongsong masa depan lebih baik. Namun, kesadaran masyarakat tersebut harus dibayar mahal dengan tingginya ongkos yang mesti dikeluarkan dari kocek terkait kebutuhan administrasi untuk mengakses pendidikan.

Meski telah dikritik dengan berbagai cara ongkos pendidikan tidak sama sekali mengalami penurunan yang signifikan. Para stakehoders enggan menurunkan ongkos pendidikan dengan berbagai alasan klasik untuk meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan. Tak pelak, mutu dan kualitas pendidikan kita sadar atau tidak telah diukur dengan seberapa besar rupiah yang dikeluarkan. Pendidikan dijadikan sebagai arena pelelangan, siapa yang berani membayar dengan harga tinggi maka ia berhak memiliki akses pendidikan.

Baru-baru ini pemerintah, Kemendiknas, mewacanakan untuk mengevaluasi RSBI yang bermasalah. Wacana evaluasi itu berada di dalam suasana penerimaan siswa baru, sehingga pihak beberapa sekolah seakan sengaja memanfaatkan kefokusan pemerintah tentang renacana evaluasi RSBI itu untuk mengeruk kocek masyarakat. Kongkretnya, pihak sekolah mewajibkan siswa untuk membayar uang seragam dan buku pelajaran dengan harga yang tinggi. Padahal, jika dibandingkan dengan di luar sekolah kemungkinan besar ongkos seragam dan buku pelajaran itu cenderung lebih murah. Dan hal lain, orang tua lebih bebas membeli dua kelengkapan itu sesuai dengan kapasitas kemampuan biaya masing-masing. Toh, seragam dan buku pelajaran siswapun sudah dipastikan sama dan serupa sesuai dengan standar nasional.

Kebijakan sekolah bahwa siswa wajib membayar uang seragam dan buku pelajaran itu jelas merupakan praktek komersialisasi pendidikan. Lebih-lebih jika dipatok dengan harga setinggi langit, tentu garansinya ialah keuntungan besar diperolah dari hasil penyediaan seragam dan buku pelajaran tersebut. Tinggal dikalikan saja dengan seluruh jumlah siswa yang diterima. Belum lagi ongkos pendaftaran masuk siswa yang juga tak pernah mengalami penurunan tapi justru semakin melambung tiap tahun. Sementara di sisi lain, input serta kualitas pendidikan yang diterima masyarakat atau peserta didik tak berbanding lurus dengan ongkos yang harus dikeluarkan itu.

Dunia pendidikan memang tak bisa dilepaskan dari praktek berbisnis. Sebab, pangsa pasar di sebuah sekolah telah jelas dan riil serta tak akan lari ke mana-mana. Berbeda dengan aktivitas berbisnis di luar yang harus bersaing untuk mendapatkan pangsa pasarnya dari masyarakat. Sekolah, meski mengalami persaingan, mengingat lembaga pendidikan bertaburan di tiap sudut, tapi kalkulasinya lebih riil karena masyarakat hari ini sangat membutuhkan pendidikan formal, terutama bagi anak-anaknya demi sebuah cita-cita mulia.

Pendidikan sebagai modal untuk menciptakan peradaban serta karakter suatu bangsa kini tengah dihadapkan pada suatu realitas anomali oleh karena keserakahan penguasa. Seluruh proses pendidikan di negeri antah berantah ini semata dihitung dengan logika untung dan rugi (kapitalistik). Memang, jika wilayah pendidikan telah bersentuhan langsung dengan pasar, maka harus mengikuti kemauan serta keinginan dari logika bisnis. Dengan kalkulasi, sekali lagi, peserta didik, orang tua dan masyarakat dijadikan pangsa pasar untuk meraup keuntungan demi menghindari kerugian setelah proses penanaman investasi berupa prasarana, perangkat serta kebutuhan dasar pendidikan, seperti bangunan sekolah, sistem, kurikulum, dan para pekerja (baca: guru) atau pelaksana pendidikan. Maka wajar bila lembaga pendidikan ibarat pabrik industri yang memproduksi ilmu pengetahuan. Pendidikan kita tidak dibangun di atas sebuah kesadaran akan kemerdekaan rakyat serta investasi jangka panjang sebuah negara, tapi lebih pada bentuk investasi berbasis ekonomi atau pasar demi sebuah keuntungan dan omzet pemasukan ekonomi belaka. Sehingga, terkadang kita melihat dengan mata telanjang ada praktek politisasi dalam dunia pendidikan seakan menunjukan bahwa tiap kelompok memiliki kepentingan atauhidden agenda tersendiri di balik pelaksanaan pendidikan.

Itulah sedikit gambaran betapa pendidikan kita saat ini lebih mengutamakan profit ketimbang tujuan mulia suatu pendidikan. Menurut Ki Hajar Dewantara, bahwa tujuan pendidikan ialah memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adapt, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi. pertanyaannya, sudahkan pendidikan kita memahami tujuan mulia itu?

0 komentar:

Posting Komentar