Jumat, 12 April 2013

Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran


Resensi Buku : Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran
Judul Buku           :  Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran
Penyunting           :  Ismid Hadad, Fuad Hashem, Aswab Mahasin, Ismet Nasir dan Daniel Dhakidae
Penerbit                :  Pustaka LP3ES Indonesia
Terbit                    :  VII, Mei 2005
Tebal                    :  xx+385 halaman                               
Menurut Harsja W Bachtiar, para mahasiswa merupakan suatu golongan yang boleh dikatakan baru di Indonesia tetapi dalam sejarah perkembangannya yang masih amat singkat, banyak sekali yang telah terjadi sebagai akibat kegiatan atau tindakan-tindakan mereka. Banyak dari mahasiswa dari pemuda-pemudi Indonesia (yang menjadi mahasiswa di lembaga-lembaga pendidikan tinggi) ini ikut serta menjalankan peranan penting dalam gerakan politik yang akhirnya menyebabkan kehancuran struktur masyarakat jajahan.
Para mahasiswa dan pemuda inilah yang pertama-tama bertekad untuk mempersatukan seluruh penduduk pribumi di kepulauan kita ini sebagai satu bangsa, Bangsa Indonesia., yang bertanah air satu, Kepulauan Indonesia dan yang berbahasa satu Bahasa Indonesia. Sejarah kemudian memperlihatkan bahwa tindakan pemuda-pemudi ini sangat berarti dan amat banyak pengaruhnya pada perkembangan masyarakat Indonesia.
Meskipun para mahasiswa merupakan golongan yang amat penting, golongan pada pertengahan tahun 1960-an ikut menjalankan peranan yang amat besar dalam meruntuhkan Orde Lama yang dipimpin Presiden Soekarno dan membangun Orde Baru yang dalam masyarakat kita yang dipimpin oleh Presiden Soeharto, namun dalam keberjalanan pemerintahan Soeharto, pemuda-pemudi Indonesia harus bersatu padu lagi, menelanjangi dan membongkar kebusukan-kebusukan era Soeharto sehingga beliau harus turun dari pemerintahan.
Di antara para mahasiswa ini terdapat pemuda Soe Hok GieIa adalah seorang anak muda yang berpendirian yang teguh dalam memegang prinsipnya dan bercita-cita besar tak hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk kepentingan orang banyak terutama kaum terpinggirkan. Ia rajin mencatat apa yang dialaminya, apa yang dipikirkannya. Dengan perantaraan catatan-catatan hariannya, kita dapat memperoleh pengetahuan mengenai kehidupan dan tindakan para mahasiswa dengan berbagai permasalahan yang dihadapi mereka. Dengan berbagai pertimbangan, buku hariannya itu kemudian diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran, pada Mei 1983.
Di zaman Gie, kampus menjadi ajang pertarungan kaum intelektual yang menentang atau mendukung pemerintahan Bung Karno. Sepanjang 1966-1969, Gie berperan aktif dalam berbagai demonstrasi. Uniknya ia tak pernah menjadi anggota KAMI, organisasi yang menjadi lokomotif politik angkatan 66. Gie lebih banyak berjuang lewat tulisan.
Kritiknya pada Orde Lama dan Presiden Soekarno digelar terbuka lewat diskusi maupun tulisan di media massa. Ketika pemerintahan Soekarno ditumbangkan gerakan mahasiswa Angkatan 66, Gie tidak lantas mau mendukung pemerintahan Orde Baru. Gie memilih menyepi ke puncak-puncak gunung bersama teman-temannya.
Gie mencintai gunung dan alam bebas. Puisi-puisinya banyak berkisah tentang kecintaannya terhadap pendakian gunung. Di puncak gunung juga salah satu pendiri Mapala UI ini menghadap penciptanya. 16 Desember 1969, di tengah kabut tebal puncak Gunung Semeru, sehari sebelum ulangtahun Gie ke-27, Gie dan Idhan Lubis meninggal  karena menghirup gas beracun. Teman-teman Gie yang ikut mendaki saat itu adalah : Anton Wiyana, A. Rahman, Freddy Lasut, Idhan Lubis, Herman Lantang, Rudy Badil, Aristides Katoppo.
Buku Catatan Seorang Demonstran terdiri dari beberapa bagian yaitu :
Kata pengantar dan bagian I
menceritakan pandangan orang lain tentang diri Soe Hok Gie (untuk selanjutnya disingkat SHG), seperti Harsja W Bachtiar (Dekan Fakultas Sastra UI semasa SHG menjadi mahasiswa), Arief Budiman (abang kandung SHG) dan tulisan Daniel Dhakidae yang mengenal SHG lewat karya-karyanya.  Di bagian ini, Arief Budiman menceritakan pembicaraan dia dengan adiknya Gie, sebelum Gie meninggal : “Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang yang saya anggap tidak benar dan sejenisnya lagi. Makin lama, makin banyak musuh saya dan semakin sedikit orang yang mengerti saya. Dan kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan, Jadi apa sebenarnya yang saya lakukan? Saya ingin menolong rakyat kecil yang tertindas, tapi kalau keadaan tidak berubah, apa gunanya kritik-kritik saya? Apa ini bukan semacam onani yang konyol? Kadang-kadang saya merasa sungguh kesepian.
Seorang teman dari Amerika menjawab keluhannya, “Gie, seorang intelektual yang bebas adalah seorang pejuang yang sendirian, selalu. Mula-mula kau membantu menggulingkan suatu kekuasaan yang korup untuk menegakkan kekuasaan lain yang lebih bersih. Tapi sesudah kekuasaan baru ini berkuasa, orang seperti kau akan terasing lagi dan akan terlempar dari sistem kekuasaan. Ini akan terjadi terus menerus. Bersedialah menerima nasib ini, kalau kau mau bertahan sebagai seorang intelektual yang merdeka : sendirian, kesepian, dan penderitaan.
Di tengah-tengah pertentangan politik agama, kepentingan golongan, ia tegak berdiri di atas prinsip perikemanusiaan dan keadilan dan secara jujur dan berani menyampaikan kritik-kritik atas dasar prinsip-prinsip itu demi kemajuan bangsa. Karena itu kami mendukung dan akan meneruskan cita-cita dan ide-idenya”  ujar Harsya W. Bachtiar
Bagian II
merupakan catatan harian Gie sendiri mulai dari 4 Maret 957 hingga 8 Desember 1969. Catatan ini dibagi menjadi enam episode, yaitu Masa Kecil, Di ambang remaja, dan lahirnya seorang aktivis merupakan latar belakang kejiwaan Soe Hok Gie
Bagian III
dimulai dari 24 Februari 1968 meliputi perjalanan ke Amerika, politik pesta dan cinta, serta akhirnya mencari makna merupakan catatan pengalaman sehari-hari yang melukiskan peristiwa, pendapat, gejolak perasaan dalam lika-liku hidupnya sebagai seorang pemuda yang tak lepas dari kegembiraan,kesedihan,benci, cinta dan kecewa.
Catatan Seorang Demonstran, 
sebuah buku tentang pergolakan pemikiran seorang pemuda, Soe Hok Gie. Dengan detail menunjukkan luasnya minat Gie, mulai dari persoalan sosial politik Indonesia modern, hingga masalah kecil hubungan manusia dengan hewan peliharaan. Gie adalah seorang anak muda yang dengan setia mencatat perbincangan terbuka dengan dirinya sendiri, membawa kita pada berbagai kontradiksi dalam dirinya, dengan kekuatan bahasa yang mirip dengan saat membaca karya sastra Mochtar Lubis.
Dia banyak menulis kritik yang keras di media massa seperti koran, bahkan kadang dengan menyebut personal (tidak menyamarkan nama). Dia pernah mendapat surat kaleng yang memaki-maki dia “Cina yang tidak tahu diri, sebaiknya pulang ke negerimu saja”. Gie bukanlah stereotipe tokoh panutan atau pahlawan yang kita kenal di negeri ini. Ia adalah pecinta kalangan yang terkalahkan dan mungkin ia ingin tetap bertahan menjadi pahlawan yang terkalahkan, dan ia mati muda.
Apa yang ditulisnya (baik atau tidak, benar atau salah) adalah apa yang dipikirkan, apa yang dirasakan oleh seorang pemuda, seorang terpelajar yang mencoba bertindak adil dalam pemikiran maupun perbuatan. Jika ingin memperoleh pengetahuan, gambaran, kesan-kesan mengenai kehidupan para pemuda atau para mahasiswa Indonesia, catatan Soe Hok Gie merupakan perwujudan kenyataan dari kehidupan sebagian dari mereka. Gie adalah sebuah potret pemuda Indonesia pada sebuah masa yang berani mengambil sikap. Kecaman yang dilontarkan Gie dilancarkan atas pemikiran yang jujur, atas dasar itikad baik. Ia tidak selalu benar, tapi selalu jujur.Terlepas dari sisi kontroversialnya yang terlalu banyak mengkritik, tapi enggan untuk bergabung dalam sistem, ada hal yang patut diapresiasi dan diperjuangkan di masa kini dan nanti. Agar apa yang diperjuangkannya dahulu, tidak sia-sia.
Berbahagialah generasi kini yang dapat menimba hikmah dari berbagai bentuk peninggalan maupun penerbitan bahan sejarah di dalam negeri!

0 komentar:

Posting Komentar