Jumat, 05 April 2013

Soe Hok Gie : Sang senior pemimpin pergerakan mahasiswa


“Pernahkah kamu mendengar nama Soe Hok Gie ?”
“Enggak. Soe Hok Gie? Siapa ya? Kayaknya pernah denger namanya, tapi lupa..yang ada di film Gie itu bukan? ”
Mungkin jawaban diataslah yang akan muncul di benak anda saat ditanya tentang Soe Hok Gie. Ya memang benar, Soe Hok Gie yang dimaksud disini adalah sosok yang pernah diangkat ke dalam film layar lebar berjudul Gie, yang dibintangi Nicholas Saputra.
Soe Hok Gie, atau akrab dipanggil Soe atau juga dipanggil Hok-Gie adalah mahasiswa yang pernah berkuliah di Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra Universitas Indonesia (sekarang FIB UI) tahun 1962 - 1969. Ia merupakan aktivis gerakan mahasiswa tahun 1966 yang menentang Pemimpin Besar Revolusi, Presiden Soekarno dalam demonstrasi mahasiswa.
Hok-Gie merupakan salah satu mahasiswa UI yang terlibat dalam dunia pergerakan mahasiswa. Dari kampus FS UI yang kala itu berada di Rawamangun, ia mengajak para mahasiswa UI untuk menentang ketidak-adilan pemerintah; dimana saat itu korupsi dan suap merajalela dalam tubuh pemerintahan dan perusahaan – perusahaan BUMN. Ia juga merupakan pendiri Mapala UI (kala itu masih merupakan Mapala FS UI, belum menjadi Mapala UI). Pada saat memimpin pendakian gunung Slamet 3.442m dpl, ia mengutip Walt Whitman dalam catatan hariannya, “Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth”.
Soe Hok Gie : secara personal
Hok-Gie lahir pada 17 Desember 1942, pada saat perang Asia atau Perang Dunia Kedua sedang berkecamuk. Seorang putra dari pasangan Soe Lie Pit —seorang novelis— dengan Nio Hoe An. Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan, Soe Hok Gie merupakan adik dari Soe Hok Djie yang juga dikenal dengan nama Arief Budiman. Sesudah lulus SD, kakak beradik itu memilih sekolah yang berbeda, Hok Djin (Arief Budiman) memilih masuk Kanisius, sementara Soe Hok Gie memilih sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Strada di daerah Gambir. Pada waktu kelas dua di sekolah menengah ini, prestasi Soe Hok Gie buruk. Bahkan ia diharuskan untuk mengulang. Ia menceritakan dalam catatan hariannya (yang kemudian dibukukan oleh Dhaniel Dhakidae dengan judul Catatan Seorang Demonstran) bahwa seorang guru Ilmu Bumi menurunkan nilai ujian Hok-Gie. Seharusnya Hok-Gie mendapat nilai 8 namun diturunkan menjadi 5. Melihat kesewenang – wenangan gurunya ia protes karena ia memang ia harusnya mendapat nilai 8. Ia akhirnya harus mengulang namun ia lebih memilih untuk pindah sekolah. Dalam catatan pribadinya ia menulis “Guru model begituan, yang tidak tahan dikritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau”. Begitu tulis anak muda yang sampai hari ajalnya tetap tidak bisa mengendarai sepeda motor, apalagi mobil. Ia berkata “Gue Cuma bisa naik sepeda, juga pandai menggenjot becak, karena di dekat rumah gue ada pangkalan becak”.
                Sikap kritisnya semakin tumbuh ketika ia mulai berani mengungkit ketidak-adilan sosial yang ada di sekelilingnya dan di masyarakat. Saat ia menjelang remaja, Hok-Gie melihat seorang yang dilihat dari tampangnya bukan pengemis namun karena kelaparan maka orang tersebut memungut kulit mangga dan kemudian memakannya. Ia kemudian memberikan uang sakunya yang Cuma Rp 2,50 pada orang tersebut. Peristiwa tersebut terjadi dua kilometer di seberang istana negara.  Dalam catatan hariannya ia menulis, “Ya, dua kilometer dari pemakan kulit mangga, ‘paduka’ kita mungkin lagi tertawa – tawa, makan – makan dengan istri – istrinya yang cantik – cantik. Aku besertamu orang – orang malang”. (Sudah menjadi rahasia umum dikalangan masyarakat saat itu bahwa Presiden Soekarno memiliki istri lebih dari satu dan sering mengadakan pesta di istana; baik di istana negara di Jakarta, istana Bogor, maupun istana TampakSiring di Bali).
                Bulan September 1961 dia mengikuti tes masuk Universitas Indonesia. Dan akhirnya masuk jurusan Sejarah. Universitas Indonesia pada saat itu menjadi ajang pertarungan bagi kaum intelektual pendukung Soekarno dan penentang Soekarno. Mungkin sejak belajar di Universitas Indonesia, dan suasana yang dialaminya maka Hok-Gie semakin sadar bahwa ia harus mengambil posisi sebagai seorang intelektual atau cendekiawan, seseorang yang menggunakan ilmu dan kepandaian yang dimilikinya untuk menganalisa secara obyektif permasalahan yang ada di sekitarnya dan di masyarakat dan menentukan solusi bagi permasalahan tersebut secara bijaksana. Sejak itulah Hok-Gie kemudian memutuskan untuk mengikuti dunia pergerakan mahasiswa. Pemikiran dan sepak terjang Hok-Gie di tahun 1960-an nampaknya masih relevan dengan kondisi Indonesia sekarang ini. Indonesia tetap membutuhkan kaum intelektual yang bukan saja kaya akan konsep – konsep ilmiah, namun juga mau terjun langsung ke lapangan. Kaum Intelektual Indonesia bukanlah cendekia yang yang tinggal di “Menara Gading” dan tidak memperdulikan kondisi masyarakat yang hidup di dasar menara. Seorang mahasiswa sebagai kaum intelektual haruslah siap bagaikan “pertapa yang turun dari tempat pertapaan mereka di gunung – gunung sepi untuk mengabdi pada rakyatnya”. Artinya, hasil kontemplasi pemikirannya sebagai pertapa yang menimba ilmu di unversitas diimplementasikan atau diwujudkan dalam pemikiran dan tindakan nyata di masyarakat.       
Kondisi Indonesia saat itu..
                Pada saat itu, kondisi Indonesia dalam keadaan terpuruk. Karena kondisi politik yang kacau akibat jatuh bangunnya kabinet dalam sistem demokrasi parlementer serta gagalnya usaha untuk kembali ke UUD 1945 dengan melalui Konstituante dan rentetan peristiwa-peristiwa politik yang mencapai klimaksnya dalam bulan Juni 1959, akhirnya mendorong Presiden Soekarno untuk sampai kepada kesimpulan bahwa telah muncul suatu keadaan kacau yang membahayakan kehidupan negara. Atas kesimpulannya tersebut, Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959, dalam suatu acara resmi di Istana Merdeka, Soekarno mengumumkan Dekrit Presiden mengenai pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 dalam kerangka sebuah sistem demokrasi yakni Demokrasi Terpimpin. Presiden Soekarno juga mencetuskan MANIPOL USDEK (Manifesto Politik UUD 1945, Sosialisme Indonesia dan Demokrasi Terpimpin) dan golongan NASAKOM (Nasionalis, Agama dan Komunis).  
                Namun seiring dengan berjalannya waktu, sistem Demokrasi Terpimpin malah menggiring Indonesia dalam kemelaratan. Ganefo dan Conefo yang diselenggarakan untuk mempersatukan negara – negara berkembang menjadi kekuatan yang menyamai blok negara – negara maju malah menguras keuangan negara yang seharusnya dapat digunakan untuk mengentaskan rakyat miskin. Belum lagi karena korupsi yang dilakukan oleh orang – orang terdekat Presiden Soekarno dan para pejabat pemerintahan. Hal ini menyebabkan kondisi ekonomi Indonesia semakin terpuruk. Kondisi ini diperparah dengan peristiwa pemberontakan Gerakan 30 September dimana para Jenderal TNI diculik dan dibunuh oleh PKI. Ditengah kekacauan politik dan ekonomi inilah maka kemudian muncul kemarahan rakyat dan mahasiswa yang meminta supaya hal kondisi ekonomi dan politik dipulihkan. Namun, kondisi malah semakin parah dengan dinaikkannya harga bahan makanan pokok dan harga bahan bakar minyak. Puncaknya, mahasiswa melakukan long march dan demonstrasi pada tahun 1966 menuntut Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat), yaitu : Turunnya harga – harga, Pembubaran kabinet Dwikora, dan Pembubaran PKI & ormas – ormasnya. Peristiwa - peristiwa inilah yang kemudian mendorong berakhirnya masa Orde Lama dan mulainya masa Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto.
Pergerakan mahasiswa di masa sekarang
                Impian Hok – Gie untuk membangun Indonesia yang lebih adil, makmur, sejahtera, dan demokratis masih sangat relevan hingga saat ini. Dalam usia Republik Indonesia yang ke – 65 tahun pada 2010 ini, ternyata bangsa kita belum semuanya menikmati rasa keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan. Sistem demokrasi Indonesia yang datang silih berganti ternyata juga belum mampu membawa Indonesia ke situasi yang amat diidam – idamkan itu.
                Nuansa pergerakan mahasiswa Indonesia memang berubah dari zaman ke zaman. Di awal pra-kemerdekaan, mereka berjuang untuk membangun fondasi kebangsaan yang kokoh. Pada awal kemerdekaan mereka juga masih berjuang untuk membangun rasa keindonesiaan yang mendalam. Baru pada masa 1960-an para kaum intelektual kampus mulai berbicara mengenai Ampera atau Amanat Penderitaan Rakyat. Ini yang kemudian juga mengilhami pembuatan lagu “Genderang UI” yang pada bait terakhirnya berbunyi “..Universitas Indonesia perlambang cita/berdasarkan Pancasila, dasar negara/kobarkan semangat kita/demi Ampera”. Tak heran jika sejak pertengahan 1960-an para mahasiswa UI seringkali menjadi motor penggerak gerakan mahasiswa penentang ketidak-adilan dan berjuang sesuai dengan amanat penderitaan rakyat.
                Kelekatan para mahasiswa pada nasib bangsanya disebabkan antara lain karena sebagai kaum intelektual muda mereka memiliki privilege sebagai anak – anak muda yang memiliki kesempatan untuk menimba ilmu sampai jenjang universitas, terutama mereka yang dapat berkuliah di Universitas Indonesia yang merupakan kampus rakyat. Melalui bacaan dan kedekatan mereka pada masyarakatnya, maka terciptalah suatu nuansa cinta pada rakyat yang kurang mencicipi kekayaan negerinya. Karena itu, amanat penderitaan rakyat menjadi suatu entitas yang lebih memberi ruang bagi kebebasan, keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran bagi warga – negaranya.

1 komentar: